Breaking News:

Pilpres 2024

Bolehkah Presiden Memihak dan Kampanye? Ini Penjelasan Pihak Istana, Pakar Hukum hingga Aturannya

Pernyataan Presiden Joko Widodo Jokowi terkait presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilihan umum Pemilu timbulkan polemik. Ini kata pakar.

YouTube Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pernyataan Presiden Joko Widodo Jokowi terkait presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilihan umum Pemilu timbulkan polemik. Ini kata pakar. 

TRIBUNWOW.COM - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal presiden dan menteri boleh ikut kampanye dan memihak pada salah satu pasangan calon (paslon) dalam Pemilu menimbulkan pro dan kontra, ini kata pakar hingga aturannya.

Menanggapi polemik itu, Pihak Istana Kepresidenan melalui Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, menjelaskan maksud pernyataan Jokowi terkait presiden boleh memihak dan berkampanye dalam Pemilu.

Ari mengatakan pernyataan Presiden ke-7 Indonesia itu banyak disalahartikan.

Baca juga: Beda Sikap Gibran dan Bobby Nasution soal Pernyataan Jokowi yang Sebut Presiden Boleh Memihak

Menurutnya, apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi itu untuk menjawab pertanyaan dari awak media soal menteri yang ikut berkampanye.

"Pernyataan Bapak Presiden di Halim, Rabu 24/01/2024, telah banyak disalahartikan."

"Apa yang disampaikan oleh Presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang menteri yang ikut tim sukses," kata Ari, Kamis (25/1/2024).

Berdasarkan penuturan Ari, dalam menjawab pertanyaan itu, Presiden Jokowi kemudian menjelaskan aturan main bagi menteri maupun presiden dalam berdemokrasi.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 281 di UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, kampanye pemilu boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, kepala daerah, dan wakil kepala daerah.

"Artinya, presiden boleh berkampanye. Ini jelas ditegaskan dalam UU," terang Ari.

Meski begitu, ada syarat yang mesti dipenuhi apabila presiden ikut berkampanye dan mendukung salah satu pasangan calon (paslon).

Presiden dilarang menggunakan fasilitas negara dan harus mengajukan cuti.

"Tapi, memang ada syaratnya jika presiden ikut berkampanye."

"Pertama, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai aturan yang berlaku. Dan kedua, menjalani cuti di luar tanggungan negara," ujarnya.

Baca juga: Jokowi Sebut Presiden Boleh Kampanye, Cek Daftar Pejabat yang Dilarang Ikut Kampanye dalam UU Pemilu

Ari mengatakan dengan diperbolehkannya Presiden berkampanye maka ia diizinkan memiliki referensi politik pada partai atau pada pasangan Capres-Cawapres.

"Artinya Undang-Undang Pemilu juga menjamin hak presiden untuk mempunyai preferensi politik pada partai atau pasangan calon tertentu sebagai peserta pemilu yang dikampanyekan, dengan tetap mengikuti pagar-pagar yang telah diatur dalam UU," ujarnya.

Lebih lanjut, Ari menyatakan apa yang disampaikan Presiden Jokowi bukanlah hal baru.

Aturan terkait sikap presiden dalam pemilu telah diatur dalam UU Pemilu.

Dia memaparkan, dalam sejarah pemilu setelah Reformasi, presiden-presiden sebelumnya juga memiliki referensi politik, bahkan mereka ikut berkampanye.

"Presiden-presiden sebelumnya, mulai Presiden ke-5 dan ke-6, yang juga memiliki preferensi politik yang jelas dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya," jelasnya.

Penjelasan Pakar

Namun, menurut Sekretaris Program Studi (Prodi) Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El Guyanie, S.HI., LL.M, aturan presiden boleh berkampanye di UU nomor 7 tahun 2017 tak bisa ditafsirkan secara tunggal.

“Salah tafsir itu. Hak politik setiap warga negara harus dimaknai sepanjang tidak menimbulkan conflict of interest atau benturan kepentingan,” ujarnya, Kamis, dilansir TribunJogja.com.

Gugun memaparkan, apabila Aparatur Sipil Negara (ASN) saja harus netral, bagaimana mungkin pejabat di kekuasaan eksekutif ini malah tidak netral.

“ASN harus netral, masa iya, pejabat tertinggi di Indonesia, simbol supremasi kekuasaan eksekutif, head of state malah tidak menjunjung asas netralitas?" ungkapnya.

Baca juga: Inkonsiten Jokowi soal Netralitas saat November 2023 dan Januari 2024: Pemerintah Pusat Harus Netral

Lebih lanjut, pria yang menjabat sebagai Direktur Lex Humana Institute itu mengungkapkan bahwa presiden adalah ASN dengan eselon tertinggi.

Dengan begitu, secara logika, presiden adalah pembina ASN. Oleh sebab itu, dia tidak boleh berpihak.

“Argumentasi dari siapapun yang menafsirkan norma dalam UU Pemilu membuka peluang presiden boleh memihak, berarti sengaja menafsirkan hukum parsial, tidak holistik. Ada kesengajaan memisahkan hukum dengan spirit demokrasi,” ungkapnya.

Aturan tersebut menegaskan bahwa kepala desa atau lurah di tingkat desa tak boleh memihak salah satu paslon.

Berdasarkan hal itu, maka bupati hingga presiden harus dipastikan tak berpihak pada salah satu paslon maupun mengkampanyekan kubu mana pun.

“Ya kalau memaknai hak politik dengan menabrak asas netralitas pejabat negara, bisa rusak demokrasi ini karena ada potensi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan,” ucapnya.

Apabila situasi semacam itu dibiarkan, sambung Gugun, doktrin pemilu yang berintegritas pasti sulit diwujudkan.

Oleh karena itu, ini sekaligus sebagai masukan untuk mereformasi peraturan perundang-undangan tentang pemilu dan pilkada.

“Bawaslu juga harus tegas mengawasi netralitas pejabat negara."

"Apalagi ini statemen presiden bisa mempengaruhi pejabat negara lain yang berpotensi ikut-ikutan memihak dan mengarah pada democracy disobedience atau pembangkangan terhadap demokrasi,” pungkasnya.

Baca juga: Apakah Boleh Presiden Kampanye dan Memihak Capres seperti Kata Jokowi? Cek Fakta dan Aturannya

Aturan Presiden Boleh Memihak dan Berkampanye

Ketua Divisi Teknis KPU RI, Idham Holik, menjelaskan apa yang disampaikan oleh Jokowi itu termuat dalam Undang-undang (UU) Pemilu.

Ia mengatakan, UU Pemilu tak melarang presiden dan menteri untuk berpartisipasi dalam kampanye.

Bahkan, di aturan itu, menyebut pejabat publik tak dilarang ikut kampanye selama tidak menggunakan fasilitas negara dan mengajukan cuti di luar tanggungan negara.

"UU Pemilu, khususnya Pasal 281 Ayat 1, memperbolehkan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota, ikut dalam kegiatan kampanye," jelas Idham, Rabu (24/1/2024), kepada Wartakotalive.com.

"Sebagaimana diatur, di persyaratan itu tidak menggunakan fasilitas (negara) dalam jabatannya. Menjalani cuti di luar tanggungan negara," lanjut dia.

Meski demikian, kata Idham, untuk hal pengamanan menjadi pengecualian.

Ia mengungkapkan, presiden dan menteri masih akan mendapat pengamanan kendati cuti di luar tanggungan negara untuk ikut kampanye.

"UU mengecualikan fasilitas pengamanan, jadi fasilitas itu boleh," ungkap Idham.

Tetapi, Idham enggan berkomentar lebih jauh mengenai pernyataan Jokowi.

Ia khawatir, ada conflict of interest atau konflik kepentingan.

Idham mengatakan pihaknya, yaitu KPU, hanyalah sebagai lembaga penyelenggara Pemilu.

Dikutip dari Tribunnews.com, ada tiga 'syarat' yang harus dipenuhi presiden, menteri, atau pejabat publik lainnya jika hendak berpartisipasi dalam kampanye.

Kedua 'syarat' telah disampaikan oleh Idham, yaitu tidak menggunakan fasilitas negara kecuali keamanan dan cuti di luar tanggungan negara.

Sementara, 'syarat' terakhir adalah tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami/istri, meskipun telah bercerai, dengan paslon.

Berikut bunyi Pasal 281 Ayat 1 selengkapnya, dikutip dari situs resmi Mahkamah Konstitusi (MK):

Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubenur, wakil gubenur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan:

a. tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. menjalani cuti di luar tanggungan negara;

c. tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak jabatan masing-masing.

(Tribunnews.com)

Baca berita terkait Pilpres 2024 lainnya

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Jokowi Sebut Presiden Boleh Memihak dan Berkampanye, Begini Penjelasan Istana dan Pakar Hukum

Sumber: Tribunnews.com
Tags:
Pilpres 2024KampanyePresiden JokowiPrabowo Subianto
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved