Breaking News:

Konflik Rusia Vs Ukraina

Tak Percaya Rusia, Ukraina Tegas Menolak Gencatan Senjata jika Harus Korbankan Wilayah

Pemerintah Ukraina mengatakan tidak akan menyetujui kesepakatan gencatan senjata dengan Rusia yang melibatkan penyerahan wilayah.

Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Lailatun Niqmah
AFP/ Alexander Nemenov
Pasukan tentara Rusia terlihat menyisir jalan saat berpatroli di kota Mariupol, Ukraina, diunggah Senin (18/4/2022). Terbaru, Ukraina tegas menolak gencatan senjata jika harus korbankan wilayah, Senin (23/5/2022). 

TRIBUNWOW.COM - Pemerintah Ukraina mengatakan tidak akan menyetujui kesepakatan gencatan senjata dengan Rusia yang melibatkan penyerahan wilayah.

Penegasan posisi Ukraina ini terjadi sehari setelah Presiden Volodymyr Zelensky mengatakan perang hanya dapat diselesaikan melalui diplomasi.

Penasihat presiden Mykhaylo Podolyak, mengatakan konsesi akan mengarah pada serangan Rusia yang lebih besar dan lebih berdarah.

Kondisi kota Borodyanka, Ukraina setelah ditinggalkan pasukan Rusia yang mundur dari wilayah sekitar Kiev, Rabu (6/3/2022).
Kondisi kota Borodyanka, Ukraina setelah ditinggalkan pasukan Rusia yang mundur dari wilayah sekitar Kiev, Rabu (6/3/2022). (Capture YouTube Guardian News)

Baca juga: Ibu di Ukraina Histeris Lihat Posisi Anaknya yang Tewas Membungkuk karena Rudal Rusia

Baca juga: Ditanya soal Kemungkinan Damai, Pejabat Ukraina Ucap Hanya Bersedia Tandatangani Kekalahan Rusia

Dilansir TribunWow.com dari Independent, Senin (23/5/2022) Podolyak yang memimpin pembicaraan dengan Moskow mengatakan kesepakatan semacam itu akan menjadi bumerang.

Meski Ukraina setuju menyerahkan wilayahnya demi gencatan senjata, Podolyak yakin Rusia tak akan berhenti.

Alih-alih, Rusia akan membalas lebih keras setelah pertempuran dihentikan sementara waktu.

"Perang tidak akan berhenti. Itu hanya akan ditunda untuk beberapa waktu," kata Podolyak dalam sebuah wawancara dengan Reuters di kantor kepresidenan di Kyiv.

"Mereka akan memulai serangan baru, bahkan lebih berdarah dan berskala besar," imbuhnya.

Ia menekankan bahwa perundingan damai akan dijalankan jika Rusia sudah menarik pasukannya dari Ukraina.

Perwakilan Ukraina tersebut juga menganggap aneh seruan baru-baru Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dan Perdana Menteri Italia Mario Draghi untuk segera melakukan gencatan senjata.

"Pasukan (Rusia) harus meninggalkan negara dan setelah itu dimulainya kembali proses perdamaian akan dimungkinkan,” tegas Podolyak.

Sikap Kyiv menjadi semakin tanpa kompromi karena Rusia telah mengalami kemunduran militer.

Selain itu, para pejabat Ukraina semakin khawatir mereka mungkin akan ditekan untuk mengorbankan tanah demi kesepakatan damai.

"Perang harus diakhiri dengan pemulihan total integritas teritorial dan kedaulatan Ukraina," kata Andriy Yermak, kepala staf kepresidenan Ukraina dalam sebuah posting Twitter kemarin.

Di sisi lain, Presiden Polandia Andrzej Duda menawarkan dukungan Warsawa, dengan mengatakan masyarakat internasional harus menuntut penarikan penuh Rusia dan bahwa mengorbankan wilayah apa pun akan menjadi pukulan besar ke barat.

"Suara-suara yang mengkhawatirkan telah muncul, mengatakan bahwa Ukraina harus menyerah pada tuntutan (Presiden Vladimir) Putin,” kata Duda, pemimpin asing pertama yang berpidato di parlemen Ukraina secara langsung sejak invasi Rusia.

"Hanya Ukraina yang berhak memutuskan masa depannya."

Komentarnya muncul saat Rusia terus berupaya mengepung pasukan Ukraina yang mempertahankan Severodonetsk di timur.

Dilansir BBC, Staf Umum Angkatan Bersenjata Ukraina mengatakan dalam pembaruan hariannya bahwa pasukan Rusia berusaha menerobos pertahanan Ukraina untuk mencapai perbatasan administratif wilayah Luhansk paling timur negara itu.

Gubernur regional Luhansk, Serhiy Haidai, mengatakan Rusia telah berusaha untuk masuk ke Severodonetsk dari empat arah yang berbeda.

Menulis di aplikasi perpesanan Telegram, dia mengatakan upaya itu tidak berhasil, tetapi penembakan di daerah pemukiman terus berlanjut.

Dia menambahkan bahwa jembatan yang menghubungkan kota ke Lysychansk di dekatnya telah hancur.

Baca juga: Misteri Keberadaan Jenderal Kanada di Mariupol, Diduga Terlibat Skandal hingga Jadi Tawanan Rusia

Baca juga: Rusia Temukan Bukti Pasukan Nasionalis Ukraina Jadikan Warga Sipil Tameng untuk Perang

Ancaman Bencana Kelaparan Akibat Konflik

Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina disebut tidak hanya akan merugikan kedua negara tersebut.

Presiden Serbia Aleksandar Vucic memperingatkan hampir 1/4 atau 25 persen populasi manusia di bumi terancam kelaparan akibat konflik antara Rusia dan Ukraina.

Pernyataan ini disampaikan oleh Vucic pada acara pameran pertanian internasional di Novi Sad pada Sabtu (21/5/2022).

Dikutip TribunWow.com dari rt.com, Vucic memperingatkan, jika sampai terjadi kelaparan maka akan ada masalah baru yang tercipta.

Menurut keterangan Vucic, ancaman kelaparan pada musim dingin mendatang akan menjadi yang terburuk sejak 70 tahun terakhir.

Turut hadir dalam acara tersebut, Presiden Hungaria, Viktor Orban.

Orban dalam acara itu mengungkit naiknya harga bahan dasar makanan akibat konflik Rusia dan Ukraina.

"Kita akan mengalami musim dingin yang sulit, tetapi Serbia dan Hungaria memiliki cadangan makanan yang penting, dua negara kita aman perkara gas bumi," ujar Orban.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengaku sangat prihatin dengan kelaparan yang meluas.

Pasalnya, perang di Ukraina mengancam ketahanan pangan di berbagai belahan dunia.

Hal ini memicu kemungkinan akan adanya bencana kelaparan global yang berdampak luas.

Dilansir TribunWow.com dari Aljazeera, Rabu (11/5/2022), Guterres menyinggung hal ini saat berdiskusi bersama kanselir Austria dan menteri luar negeri di Wina.

Ia juga mengatakan pembicaraan sedang berlangsung untuk mengevakuasi lebih banyak warga sipil dari zona konflik di Ukraina dan menyatakan keyakinannya bahwa lebih banyak evakuasi akan terjadi di masa depan.

Diketahui, perang di Ukraina telah membuat harga global untuk biji-bijian, minyak goreng, bahan bakar dan pupuk melonjak drastis.

Badan-badan PBB pun telah memperingatkan bahwa kenaikan harga akan memperburuk krisis pangan di Afrika.

Invasi Rusia telah mengganggu pengiriman di Laut Hitam, rute utama untuk biji-bijian dan komoditas lainnya, serta membatasi ekspor dari Ukraina dan Rusia.

"Saya harus mengatakan bahwa saya sangat prihatin, yaitu dengan risiko kelaparan yang meluas di berbagai belahan dunia karena situasi keamanan pangan yang dramatis yang kita hadapi karena perang di Ukraina,” kata Guterres.

Dalam kunjungannya ke Moldova, sebuah negara kecil yang membuka pintu bagi masuknya pengungsi dari negara tetangga Ukraina, Guterres mendesak Uni Eropa untuk meningkatkan dukungan keuangan bagi pemerintah di Chisinau.

Lebih dari 450.000 pengungsi dari Ukraina telah melarikan diri ke Moldova, salah satu negara termiskin di Eropa.

Kepedulian itu datang dari latar belakang Guterres sebelumnya menjabat sebagai komisaris tinggi PBB untuk pengungsi.

Dia mencatat selama kunjungan dua hari ke Moldova, negara kecil itu telah menyerap pengungsi paling banyak sebanding dengan populasinya sendiri sekitar 2,6 juta orang.

Di sisi lain, Guterres belum banyak membahas mengenai prospek pembicaraan damai Ukraina dan Rusia.

Ia mengatakan waktunya akan tiba ketika ada negosiasi damai atas Ukraina, tetapi tidak dalam waktu dekat.

"Perang ini tidak akan berlangsung selamanya. Akan ada saatnya negosiasi damai akan dilakukan,” kata Guterres dalam konferensi pers dengan Presiden Austria Alexander Van der Bellen.

"Saya tidak melihat itu dalam waktu dekat. Tapi saya bisa mengatakan satu hal. Kami tidak akan pernah menyerah," tambahnya.(TribunWow.com/Via/Anung)

Berita terkait Konflik Rusia Vs Ukraina

Tags:
Konflik Rusia Vs UkrainaUkrainaVolodymyr ZelenskyRusiaVladimir Putin
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved