Konflik Rusia Vs Ukraina
Sebut AS Lakukan Penipuan, Putin Salahkan Pihak Barat soal Kenaikan Harga Minyak dan Energi
Presiden Vladimir Putin menuding pihak Barat salah melakukan kalkulasi terkait sanksi yang diberikan ke negaranya.
Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Presiden Vladimir Putin menuding pihak Barat salah melakukan kalkulasi terkait sanksi yang diberikan ke negaranya.
Ia percaya bahwa pihak Barat mencoba menjatuhkan kesalahan pada Rusia atas lonjakan harga energi di dunia.
Presiden 69 tahun itu pun menyebut Amerika Serikat (AS) melakukan pembohongan publik pada rakyatnya sendiri.

Baca juga: Putin Lancarkan Balasan Sanksi Internasional, Batasi Ekspor-Impor hingga Rilis Daftar Negara Musuh
Baca juga: 3 Skenario Akhir Rusia Vs Ukraina, Putin Pakai Taktik Anaconda hingga Potensi Perang Senjata Kimia
Dilansir TribunWow.com dari kanal berita TASS, hal itu diungkapkan Putin dalam pertemuan dengan staf pemerintahan, Kamis (10/3/2022).
Putin menyinggung kenaikan harga minyak dunia yang kini meningkat hingga tembus 111 USD atau sekitar Rp 1,5 juta per barel.
Kenaikan ini terjadi setelah AS menyatakan larangan impor minyak dari Rusia sebagai bentuk sanksi atas invasi ke Ukraina.
Menurut Putin, kenaikan harga tersebut merupakan hasil kesalahan kalkulasi yang dilakukan pihak Barat.
"Harga di sana meningkat, tetapi bukan karena kesalahan kami. Ini adalah hasil dari salah perhitungan mereka sendiri. Mereka seharusnya tidak menyalahkan kami untuk ini," kata Putin.
"Hal yang sama berlaku untuk lonjakan harga minyak dan produk minyak bumi di Amerika Serikat. Mereka mengumumkan bahwa mereka menutup impor minyak Rusia ke pasar Amerika, harga di sana tinggi, inflasi sangat tinggi, mungkin mencapai sepanjang masa. Mereka mencoba untuk mengalihkan kesalahan atas hasil kesalahan mereka sendiri pada kami."
Menurutnya, hal ini jelas terlihat bagi pakar pasar, karena pasokan minyak Rusia ke pasar Amerika tidak melebihi 3%.
Sehingga tak ada perubahan signifikan yang seharusnya terjadi meski AS tak mengimpor minyak dari Rusia.
"Ini adalah volume yang dapat diabaikan, dan harga mereka naik. Kami sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu, dan bahkan di sini larangan impor minyak Rusia sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu," tegas Putin.
"Mereka hanya bersembunyi di balik keputusan ini untuk sekali lagi, menipu populasi mereka sendiri."
Pemimpin Rusia menyoroti kemungkinan AS akan mencoba untuk bernegosiasi dengan negara-negara yang pernah dibatasinya.
Putin yakin AS nantinya juga akan mencoba bernegosiasi dengan Rusia setelah krisis yang terjadi mereda.
"Mereka siap untuk berdamai dengan Iran, segera menandatangani semua dokumen, dan dengan Venezuela. Mereka pergi ke Venezuela untuk berunding, tetapi mereka seharusnya tidak mengenakan sanksi tidak sah ini,"ujar Putin.
"Hal yang sama akan terjadi dalam hubungan dengan negara kita, saya tidak ragu tentang itu."
Baca juga: Kehidupan Pribadi Putin, Cerai dari Istri dan Pacari Gadis 30 Tahun Lebih Muda hingga Punya 4 Anak
Baca juga: Prediksi Putin akan Dikudeta akibat Invasi Rusia ke Ukraina, Pakar: Hanya China yang Bisa Selamatkan
Bom Atom Ekonomi Dijatuhkan ke Rusia
Aliansi negara Sekutu mengenakan sanksi ekonomi yang semakin keras terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina.
Target terbarunya melibatkan pelarangan akses Rusia ke SWIFT, singkatan dari Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication.
Hal ini menjadi sanksi ekonomi terbesar hingga disebut sebagai bom nuklir untuk melumpuhkan sistem keuangan Rusia.
Dilansir ABC News, Minggu (27/2/2022), Amerika dan sejumlah negara lain telah menyetujui pembatasan akses Rusia ke SWIFT.
Pasalnya, Presiden Rusia Vladimir Putin masih enggan menarik pasukannya dari Ukraina.
Adapun SWIFT adalah sistem pengiriman pesan yang didirikan pada tahun 1973 yang memungkinkan lembaga keuangan besar untuk saling mengirim uang.
Sistem yang berbasis di Belgia ini digunakan oleh lebih dari 11 ribu bank dan lembaga keuangan di lebih dari 200 negara dan wilayah, termasuk Rusia.
SWIFT menangani 42 juta pesan sehari, memfasilitasi transaksi senilai triliunan dolar.
Menurut Financial Times, Rusia menyumbang 1,5% dari transaksi SWIFT pada tahun 2020.
Pada Sabtu (26/2/2022) malam, Gedung Putih mengumumkan bahwa AS akan memutuskan beberapa bank Rusia dari SWIFT dalam kemitraan dengan Komisi Eropa, Prancis, Jerman, Italia, Inggris dan Kanada.
Dalam pernyataan resmi yang dirilis, pihak Amerika menyebut bahwa tindakan ini akan melumpuhkan sistem finansial Rusia.
Pasalnya, sejumlah aset milik pengguna tak akan bisa ditarik sehingga menyebabkan bank-bank di Rusia diprediksi akan menahan uang nasabahnya.
"Melakukan tindakan pembatasan yang akan mencegah Bank Sentral Rusia menyebarkan cadangan internasionalnya dengan cara yang merusak dampak sanksi dari kami," bunyi pernyataan tersebut.
"Ini akan memastikan bahwa bank-bank ini terputus dari sistem keuangan internasional dan membahayakan kemampuan mereka untuk beroperasi secara global."
Seorang pejabat senior Gedung Putih mengatakan bahwa Uni Eropa akan ikut memilah bank mana saja yang diputus dari SWIFT.
Beberapa ahli percaya bahwa memberikan sanksi kepada bank seperti yang telah dilakukan AS dan sekutu sejauh ini adalah cara yang efektif untuk membekukan aset Rusia.
Pasalnya, jika tidak ada uang untuk dipindahkan, sistem transaksi Rusia ke luar akan menjadi kacau.
Di sisi lain, negara-negara Eropa kemungkinan akan menghadapi dampak negatif terhadap ekonomi mereka sendiri dari sanksi SWIFT.
Jerman, khususnya, yang selama ini memiliki ketergantungan pada pasokan gas dan minyak Rusia. (TribunWow.com)