Isu Kudeta Partai Demokrat
Presiden Diminta Berikan Sanksi Moeldoko, Ngabalin: Mantan Panglima TNI, Pasti Berpikir Proporsional
Partai Demokrat meminta kepada Presiden untuk memberikan sanksi kepada Moeldoko karena telah melanggar etika profesi dan birokrasi.
Penulis: Adi Manggala Saputro
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM – Ketua Badan Pembina Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan (BPOKK) Partai Demokrat, Herman Khoiron meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberikan sanksi pada Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, karena turut terlibat dalam kisruh yang terjadi di partai berlambang mercy tersebut.
Hal itu disampaikan Herman Khoiron seperti dikutip dari tayangan YouTube CNN Indonesia, Selasa (9/3/2021).
Partai Demokrat menginginkan Presiden Jokowi untuk mengambil sikap tegas terhadap tindakan yang dilakukan oleh Moeldoko.
Herman menjelaskan sikap tegas Presiden Jokowi dapat didasari oleh pelanggaran etika profesi dan birokrasi yang dilakukan oleh Moeldoko.
Di sisi lain, Herman mempercayai bahwa keputusan yang dibuat oleh Moeldoko adalah murni dari keputusan pribadinya.
Baca juga: Momen AHY Singgung soal Prajurit saat Tanggapi KLB: Moeldoko Ketua Umum Partai Demokrat Abal-abal
Baca juga: Kesaksian DPC Hadiri KLB Demokrat: Tiba-tiba Jhoni Allen Ketok Palu Ketua Umum adalah Moeldoko
“Kami juga meyakini apa yang dilakukan Moeldoko adalah keputusan pribadi,” ujar Herman.
Ia juga menambahkan bahwa Partai Demokrat tidak menuduh pemerintah tahu tentang proses kudeta melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang dilakukan di Deliserdang, Sumatera Utara Jumat (5/3/2021).
“Kami mempersoalkan masalah ini bukan untuk pemerintah, namun kita hanya representasi saja, Moeldoko berada di dalam lingkaran istana,” imbuh Herman.
Herman juga menjelaskan apa yang dilakukan oleh Moeldoko sudah melanggar etika profesi.
Ia meyakini bahwa Moeldoko dengan sengaja berkomplot dengan kelompok kader yang dipecat karena melanggar kode etik partai.
Herman juga menyangkutpautkan permasalahan ini dengan kondisi yang sedang dihadapi oleh rakyat.
“Pandemi Covid 19 belum berakhir, maslaah sosial belum berakhir, kok tiba-tiba ada pejabat tinggi yang melanggar rambu-rambu konstitusi partai dan tidak memenuhi kriteria pengambilalihan partai. Mengatasnamakan KLB ilegal, padahal banyak masalah yang ditimbulkan,” tegas Herman.
Partai Demokrat melihat kasus kudeta ini dari dua perspetif, politik dan hukum.
“Kita lihat dari dua perspektif, peristiwa politik dan hukum, untuk politik kita lihat dari segi etika politiknya,” jelas Herman.
Ia juga menjelaskan tindakan Partai Demokrat dilihat dari persitiwa hukum.
Baca juga: Teruskan Pesan dari Moeldoko, Razman Arif: Tak Ada Hubungan dengan Pak Jokowi, Hilangkan Tagar KSP
Baca juga: Sebut Moeldoko akan Ditendang dari Kabinet jika Terjadi Kesepakatan Jokowi-SBY, Pengamat: Selesai
“Kita akan terus ikuti dengan cara-cara hukum, kita juga sudah mendatangi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dirjen AHU Kemenkumham) untuk dilihat apakah memenuhi kriteria hukum yang berlaku untuk partai politik,” ujar Herman.
Partai Demokrat juga telah melakukan audiensi dengan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) memberikan data komplit dan menceritakan kronologi permasalahan.
Selain itu, Herman juga menyatakan telah berkoordinasi dengan Pembina Politik Menkopolhukam, kita juga menceritakan kronologi kejadian ini.
Ia menegaskan, jika terjadi dan terbukti melanggar etika politik dan hukum, Moeldoko tidak diampuni lagi, karena mencoreng nama pemerintah disaat masa sulit pandemi ini.
Herman juga menuturkan, kasus ini bukan perihal melarang hak berpolitik, tetapi terdapat cara-cara yang harus dilakukan untuk melakukan sesuatu, seperti KLB yang kami anggap ilegal.
Herman menjelaskan tentang skema KLB Partai Demokrat sesuai dengan AD/ART.
“KLB harus dilakukan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat, tetapi ini siapa yang melaksanakan, tidak pernah jelas,” imbuh Herman.
Selain ada syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan KLB Partai Demokrat, terdapat juga prasyarat lainnya yang juga harus dipenuhi.
“Kemudian ada prasyarat, harus diusulkan 2/3 suara DPD, 50 persen suara DPC,” ujar Herman.
“Dan tentu harus mendapatkan persetujuan Majelis Tinggi Partai,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan, KLB Deliserdang tidak sah, syarat tidak dipenuhi, dan terindikasi banyak pemalsuan terhadap utusan-utsuan disana.
“Ini dilakukan secara ilegal, dan ini diambil oleh Moeldoko, ini rancu dan Presiden Jokowi harus ambil sikap dalam etika politik ini,” ujar Herman sembari mengekspresikan keheranannya.
Partai Demokrat tetap beranggapan bahwa Presiden tetap memberikan sanksi terhadap pejabat tinggi yang melakukan pelanggaran etika profesi dan etika birokrasi.
Sementara itu, Ali Mochtar Ngabalin, Staf Kepresidenan, juga menjelaskan pendapatnya.
“Saya hadir sebagai Staf Utama Kepresidenan. Bukan lagi hal yang baru, posisi yang harus dilihat ketika Pak Moeldoko ambil posisi tersebut,” jelas Ngabalin.
Ngabalin juga menjelaskan kasus yang menyeret pimpinannya di KSP Moeldoko tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah, terkhusus Staf Kepresidenan.
“Ini tidak ada hubungannya dengan KSP, itu masalah internal bukan sesuai dengan posisi Pak Moeldoko sekarang,” imbuhnya.
Ngabalin juga menjelaskan terkait posisi Presiden Jokowi yang belum mengambil sikap terkait kasus ini.
“Bagaimana Presiden harus membuat sebuah keputusan jika orang mempunyai hak politik, dan dilihat juga seberapa jauh Pak Moeldoko terlibat dalam perencanaan KLB ini,” jelas Ngabalin.
Ngabalin menegaskan bahwa sikap ini bukan berdasarkan keputusan KSP melainkan sikap pribadi dari Moeldoko.
“Saya mau bilang bahwa, luar biasanya Pak Moeldoko itu tidak pernah menceritakan ini semua ke kami,” ujar Ngabalin.
“Beliau tidak pernah menceritakan permasalahan organisasi, apalagi Partai Demokrat, DPD dan DPC, HKTI beliaupun tidak pernah ceritakan. Saya bilang ia (Moeldoko) sangat amat profesional,” jelasnya.
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) adalah sebuah organisasi sosial di Indonesia yang dikembangkan berdasarkan kesamaan aktivitas, profesi dan fungsi di dalam bidang agrikultur dan pengembangan desa.
Ia juga menjelaskan mengapa Presiden belum mengambil keputusan apapun dalam kasus ini.
“Karena hak-hak politik dijelaskan di UUD No 9 tahun 1998 juga mengatur tentang hal itu, UUD 1945 dijelaskan juga dipasal 28,” jelas Ngabalin.
Ia meyakini ada pihak yang mau menyeret Presdien Jokowi dalam konflik ini.
Ngabalin tetap mempercayai Moeldoko tidak akan melakukan sesuatu yang tidak proposional.
“Pak Moeldoko, mantan Panglima TNI bintang 4, Doktor, cumlaude Adhi Makayasa, jadi beliau tahu secara proporsional dalam mengambil sebuah keputusan dengan kalkulasi yang jelas,” ujar Ngabalin.
Sementara itu, Analis Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro menyampaikan pendapatnya terkait kasus yang terjadi di Partai Demokrat.
Siti menyampaikan kasus ini dilihat dari perspektif bagaimana pemerintah menanggapi permasalahan ini.
Ia juga menambahkan jabatan yang diemban dan melekat dengan Pak Moeldoko tidak bisa dilihat hanya dari individunya saja.
“Pak Moeldoko sedang menjalani amanah sebagai KSP 1, dan langsung berada dibawah Presiden, membantu Presiden,” jelas Siti.
Siti juga mengingatkan tentang visi besar pemerintah dalam membangun Reformasi Birokrasi Nasional.
“Jangan lupa visi besar pemerintah adalah membangun Reformasi Birokrasi Nasional,” ujar Siti.
Ia mengingatkan visi Presiden Jokowi yang ingin mendorong perbaikan kualitas birokrasi administrasi, dalam hal ini adalah Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ia juga menambahkan terdapat UUD yang menjelaskan tentang Tata krama ASN.
“Kita mempunyai undang-undang ASN tentang tatakrama birokrasi dan jelas disebutkan disana bagaimana ASN bertatakrama, pemmipinnya juga harus mengikuti peraturan tersebut,” jelasnya.
“Siapun politisi yang masuk ke birokrasi administrasi juga harus mengikuti tata krama tersebut,” imbuh Siti.
Siti mengingatkan bahwa ASN dan pimpinan tidak boleh melakukan politik praktis.
“Tidak boleh melakukan politik praktis. KLB di Deliserdang ini sangat dipertanyakan legal formalnya, dari perspektif hukum dan demokrasinya, ini tidak boleh dikacaukan,” tegas Siti.
Siti juga mengaitkan kasus ini dengan sila-sila yang ada dalam Pancasila, terutama sila ke-3.
“Sila ke 3 pancasila harus dikedepankan, prinsip-prinsip komunikasi harus dijalankan agar dapat membentuk pemerintahan yang baik,” tutup Siti. (TribunWow.com/Adi Manggala S)