Pesawat Sriwijaya Air Jatuh
Suasana Haru Tabur Bunga bagi Korban Sriwijaya Air, Keluarga Ikhlas: Bukan Kesedihan, tapi Keteguhan
Sejumlah keluarga korban jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 mengadakan upacara tabur bunga di sekitar perairan Kepulauan Seribu.
Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Tiffany Marantika Dewi
TRIBUNWOW.COM - Sejumlah keluarga korban jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 mengadakan upacara tabur bunga di sekitar perairan Kepulauan Seribu.
Dilansir TribunWow.com, diketahui lokasi tersebut menjadi titik jatuhnya pesawat Sriwijaya Air yang menewaskan 62 orang tersebut pada Sabtu (9/1/2021).
Setelah hampir dua pekan berjalan, tim evakuasi memutuskan menghentikan operasi pencarian dan pertolongan pada Kamis (21/1/2021).

Baca juga: Penjelasan soal SOS, Tanda yang Muncul di Maps Pulau Laki, Dekat Lokasi Jatuhnya Sriwijaya Air
Sampai Kamis sore, total ada 47 korban Sriwijaya Air yang teridentifikasi.
Sebanyak 35 di antaranya sudah diserahkan ke pihak keluarga.
Pihak keluarga lainnya kemudian mengadakan upacara tabur bunga sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada para korban pada Jumat (22/1/2021).
Titik tabur bunga dilakukan di antara Pulau Lancang dan Pulau Laki, Kepulauan Seribu.
Keluarga dan tim yang mendampingi menggunakan KRI Semarang.
Suasanya haru menyelimuti prosesi tabur bunga tersebut.
Terlihat beberapa anggota keluarga yang berduka menahan isak tangis sambil menghadap ke arah perairan yang diduga menjadi lokasi jatuhnya pesawat.
Seorang adik korban, Heri Purnomo, berterima kasih telah diberi kesempatan untuk memberikan penghormatan kepada anggota keluarganya yang tewas.
"Kami berterima kasih kepada Sriwijaya Air yang sudah mengadakan acara ini. Mungkin ini penghargaan atau ucapan belasungkawa yang bisa dilakukan oleh pihak Sriwijaya," kata Heri Purnomo, dalam tayangan Kompas TV.
Ia mengaku sudah mengikhlaskan kecelakaan tragis itu sebagai musibah yang memang terjadi.
Baca juga: Kisah Tim Penyelam Sriwijaya Air Harus Terapi Dekompresi di Hari ke-9, Alami Sejumlah Gejala Pusing
Heri menambahkan, pihak keluarga tidak ingin berlarut dalam kesedihan, tetapi menguatkan diri dan menerima nasib anggota keluarganya yang tragis.
"Kami sebagai keluarga korban juga menyadari bahwa hal ini merupakan musibah yang tidak bisa dielakkan," kata Heri.
"Maka dengan momen tabur bunga ini sebenarnya bukan kesedihan yang akan kita angkat, tetapi untuk meneguhkan hati kita untuk dapat menerima takdir Allah ini dengan ikhlas dan ridho," jelasnya.
Dikutip dari Kompas.com, Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI (Purn) Bagus Puruhito menyatakan operasi pencarian resmi ditutup.
"Maka hari ini, hari Kamis, tanggal 21 Januari 2021, pada pukul 16.57 WIB, operasi pencarian dan pertolongan pesawat Sriwijaya Air di perairan Kepulauan Seribu secara resmi saya nyatakan ditutup atau penghentian," kata Bagus Puruhito, Kamis.
Ia menyebut penghentian operasi berdasarkan pertimbangan teknis, hasil temuan korban, pertemuan dengan pihak kelurga korban, dan masukan lainnya dari lapangan.
"Namun selanjutnya dengan operasi lanjutan, yaitu pemantauan atau monitoring secara aktif," kata Bagus.
"Dan bila di kemudian hari ada dari masyarakat yang melihat dan menemukan yang diduga bagian dari korban ataupun pesawat kepada Basarnas, kami akan merespons untuk menindaklanjuti temuan tersebut," tambahnya.
Lihat videonya mulai menit 2.30:
Kisah Tim Penyelam Sriwijaya Air Harus Terapi Dekompresi di Hari ke-9
Anggota Tim Penyelam Intai Amfibi (Taifib) yang melakukan evakuasi pesawat Sriwijaya Air SJ 182 harus menjalani terapi seusai menyelam.
Dilansir TribunWow.com, hal itu disampaikan Perwira Kesehatan Yontaifib I Marinir Kapten Laut (K) Gandhi Singgih Nugroho dalam Sapa Indonesia di Kompas TV, Senin (18/1/2021).
Diketahui pencarian sisa-sisa kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 masih dilakukan pada hari kesembilan.
Baca juga: Update Jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182: Bayi 11 Bulan yang Viral Kini Jenazahnya Teridentifikasi
Para penyelam fokus menemukan puing-puing pesawat, potongan tubuh korban, serta cockpit voice recorder (CVR) di perairan Kepulauan Seribu.
Menurut Gandhi, anggota tim penyelam harus menjalani terapi dekompresi di ruang hiperbarik seusai menyelam demi menjaga kondisi tubuh tetap prima.
Ia menjelaskan kedalaman laut para penyelam saat melakukan evakuasi adalah perairan dangkal yang mencapai 18-20 meter.
"Walaupun judulnya perairan dangkal, tetap saja ada risiko penyelaman seperti decompression sickness atau kita sebutnya DCS," jelas Gandhi Singgih Nugroho.

"Karena menggunakan tabung nitrogen, tetap ada risiko seperti itu," terangnya.
Ia menyebut ada dua tipe DCS dengan tingkat gejala yang berbeda.
Pada tipe yang lebih tinggi, penyelam yang mengalami DCS dapat kehilangan kesadaran.
"DCS itu dibagi dua. Tipe satu untuk yang lebih ringan. Gejalanya seperti kebas, kesemutan, pusing," papar Gandhi.
"Yang lebih beratnya itu tipe dua itu gejala-gejala seperti DCS tipe satu tapi ada tambahannya seperti sesak napas, bingung, apalagi sampai kehilangan kesadaran," lanjut dia.
Dalam terapi hiperbarik di ruangan khusus, tim penyelam akan dipasangi alat seperti masker oksigen.
Fungsinya untuk membilas nitrogen yang dihirup saat menyelam di dasar laut.
Baca juga: Video Bawah Laut Evakuasi Hari ke-7, Ada Potongan Sayap Berlogo Sriwijaya Air, Tepiannya Hangus
"Di luar kasus-kasus penyelaman DCS seperti yang saya bilang, fungsi ambulans yang ada di sini untuk nitrogen washout atau pembilasan," kata Gandhi.
"Di mana gas nitrogen yang dihisap penyelam itu kita buang dengan menggunakan ambulans chamber ini," lanjut dia.
Ruangan tersebut akan ditutup rapat dan membuat tim penyelam seolah-olah sedang berada di kedalaman laut.
Ruangan ini dikendalikan oleh alat khusus yang ada di luar.
Alat tersebut akan mengatur tekanan dan kedalaman laut di dalam ruangan.
"Untuk nitrogen washout atau pembilasan, kita seperti menyelam di kedalaman 18 meter. Makanya masuk di chamber ini seperti menyelam kering atau menyelam tanpa air," jelas Gandhi. (TribunWow.com/Brigitta)