Virus Corona
Singgung DKI Jakarta, Pakar Kebijakan Publik Apresiasi Langkah Malang Raya dalam Tangani Corona
Pakar Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah memberikan apresiasi kepada penerapan PSBB di Malang Raya dan bandingkan dengan DKI Jakarta.
Penulis: Elfan Fajar Nugroho
Editor: Ananda Putri Octaviani
TRIBUNWOW.COM - Pakar Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah memberikan apresiasi kepada penerapan PSBB di Malang Raya.
Dilansir TribunWow.com, Trubus mengatakan keberhasilan PSBB di Malang Raya bisa menjadi referensi daerah-daerah lain.
Hal ini disampaikannya dalam acara Dua Arah yang tayang di kanal Youtube KompasTV, Senin (8/6/2020).

• Tak Sepakat dengan Istilah New Normal dari Pusat, Walkot Malang Sutiaji: Saya Ikuti Pedoman WHO
Melihat kondisi tersebut, Trubus menilai bahwa pengendalian Virus Corona sangat ditentukan oleh setiap daerahnya.
Yakni bagaimana bisa memberikan sosialsiasi dan pemahaman kepada masyarakat supaya bisa lebih sadar dan mengikuti protokol kesehatan yang ketat.
"Ini yang disampaikan dari Malang cukup dijadikan referensi artinya memang loyalitas masyarakat bisa diarahkan, karena mungkin di sana sosialisasi, komunikasi dan edukasinya berjalan cukup optimal," ujar Trubus.
Dirinya kemudian membandingkan dengan kondisi yang terjadi di DKI Jakarta.
Menurut pengamatannya, kondisi DKI Jakarta tidak berbeda antara adanya PSBB maupun tidak, yakni banyak masyarakat yang belum tertib.
Trubus lantas menyinggung dengan masa transisi yang justru penambahan kasusnya bertambah tinggi.
"Tetapi di daerah-daerah seperti DKI Jakarta kan ternyata tidak optimal, artinya PSBB tetap saja tinggi, transisi dari kemarin malah tambah 163 kasus (Minggu, 7 Juni 2020 -red)," kata Trubus.
• Sebut Daerah dan Pusat Tak Sinkron, Pakar: PSBB Transisi Jakarta dan Malang Bingungkan Publik
Sementara itu, Wali Kota Malang, Sutiaji memberikan penjelasan terkait keberhasilan PSBB di Malang Raya.
Sutiaji mengatakan Malang Raya tidak hanya sekadar melakukan PSBB, melainkan melakukan terobosan-terobosan yang cukup efektif, yakni adanya program Kampung Tangguh.
Menurutnya, Kampung Tangguh tersebut merupakan implementasi dari peran lima unsur penting sebuah kota, atau biasa disebut sebagai pentahelix.
Satu di antaranya adalah dari perguruan tinggi.
"Terus di kami Pak Trubus ada Kampung Tangguh, Jadi kami Pentahelix kami jalan, perguruan tinggi kami ajak bersama-sama untuk menangani ini," ungkap Sutiaji.
"Jadi kota kami kecil tetapi perguruan tingginya lebih dari 50."
"Kami replikakan jadi ada kampung tangguh ini," jelasnya.
• Aturan dan Syarat Bepergian saat New Normal, Mulai dari Tes PCR hingga Rapid Test
Sutiaji menambahkan, dengan penerapan Kampung Tangguh, mobilitas masyarakat menjadi sangat terkontrol.
Karena mobilitas masyarakat akan dipantau dari tingkat yang paling bawah, yakni setara RT atau RW.
"Jadi Kampung Tangguh itu adalah ada SOP-nya sampai 7, kita tarik pada skala yang lebih kecil,"
"Mobilitas orang dipantau dari kampung tangguh ini," pungkasnya.
Simak videonya mulai menit ke- 4.18
Tak Sepakat dengan Istilah New Normal, Walkot Malang: Saya Ikuti Pedoman WHO
Wali Kota Malang, Sutiaji mengaku tidak sepakat dengan penyebutan istilah New Normal yang disampaikan oleh pemerintah pusat.
Dilansir TribunWow.com, Sutiaji mengatakan lebih memilih memakai pedoman dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Hal ini disampaikannya dalam acara Dua Arah yang tayang di kanal Youtube KompasTV, Selasa (9/6/2020).

• Kritik New Normal Terlalu Cepat, Pengamat Trubus Sebut PSBB Jadi Rancu: Tidak Bisa Ujug-ujug
Sutiaji mengaku lebih memilih menggunakan istilah masa transisi ketimbang New Normal.
Meski begitu, menurut Sutiaji, untuk penerapannya sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pemerintah pusat.
"Saya ikuti pedoman WHO ya, jadi setelah masa PSBB, masuk ke masa transisi itu ada enam item," ujar Sutiaji.
"Saya kira tidak ada perbedaan kami dengan pusat, cuman memang mencari kosa kata yang benar menurut saya justru, sebenarnya saya tidak sepakat dengan New Normal," jelasnya.
Menurutnya, penyebutan istilah New Normal justru mempunyai konotasi yang berbeda dan berbahaya.
Karena hal itu ditakutkan justru diartikan sebagai bentuk kenormalan baru seperti sebelum adanya Covid-19.
Padahal sebaliknya, masyarakat masih mempunyai risiko terpapar Virus Corona jika tidak menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
"Karena ini mindset masyarakat terbangun seakan-akan kita kembali kepada kenormalan yang sebelum Covid-19," terangnya.
"Jadi kami sebetulnya pakai yang adaptif, jadi kami berperilaku adaptif," imbuhnya.
• PSBB Surabaya Raya Tak Diperpanjang, Khofifah: Kami Sangat Menghormati Keputusan Para Kepala Daerah
Sementara itu, Sutiaji mengakui bahwa masa transisi ini memang untuk menuju masa New Normal.
Namun sebelum sampai New Normal maka harus memenuhi indikator yang sesuai dengan pedoman dari WHO.
Yakni mulai dari persebaran kasus menurun, penyediaan fasilitas kesehatan, hingga memperhatikan lebih kluster zona merah.
"Berkaitan dengan masalah New Normal ini kan ada kaidah pedoman dari WHO transisi pasca restriksi itu PSBB harus memastikan enam hal," kata Sutiaji.
"Yang pertama adalah bukti persebaran kasus terkontrol, yang kedua adalah kapasitas kesehatan harus tersedia," bebernya.
"Yang ketiga populasi berisiko harus dilindungi."
Lebih lanjut, Sutiaji menyadari untuk menuju New Normal tentu tidak bisa dilakukan secara langsung.
Melainkan harus melalui proses yang dinamakan sebagai masa transisi.
"Saya lebih cenderung memang mencari masa transisi karena begitu langsung ke istilahnya New Normal ini banyak item-item yang seharusnya sudah kita mampu kita pertahankan di PSBB nanti akan masuk kepada gelombang New Normal itu," pungkasnya. (TribunWow/Elfan Fajar Nugroho)