Virus Corona
Sebut PSBB Transisi Jakarta dan Malang Raya Bingungkan Publik, Pakar: Hanya untuk Sekedar Beda Saja
Pakar Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah menyoroti penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Malang Raya dan DKI Jakarta.
Penulis: Elfan Fajar Nugroho
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Pakar Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah menyoroti penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi di Malang Raya dan DKI Jakarta.
Seperti yang diketahui, Malang Raya dan DKI Jakarta lebih memilih memakai PSBB transisi ketimbang istilah New Normal.
Dilansir TribunWow.com, Trubus menilai kebijakan yang diambil oleh pemerintah DKI Jakarta dan Malang Raya hanya untuk sekadar ingin berbeda dengan pusat.
Hal ini disampaikan Trubus dalam acara Dua Arah KompasTV, Senin (8/6/2020).

• Dalam Survei Indikator, Tingkat Elektabilitas Ganjar Pranowo Lampaui Anies Baswedan
Trubus kemudian menyebut ada ketidaksinkronan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terkait penerapan new normal Corona.
Dirinya mengatakan apa yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta dan Malang justru membingungkan publik.
Menurutnya, tidak ada perbedaan antara masa transisi dengan New Normal.
Keduanya merupakan sebuah proses menuju kenormalan baru di tengah Virus Corona.
"Iya ketidaksinkronan itu jelas terlihat nyata di mana kemudian yang dimaksud transisi itu kan sudah di dalamnya New Normal," ujar Trubus.
"Dan artinya apa, sesungguhnya tidak ada yang perlu dibuat seolah-olah ada tersendiri, transisi kan seolah-olah tersendiri," jelasnya.
Trubus mengatakan dengan pemerintah daerah yang masih menyebutnya dengan masa transisi, maka ada yang mengartikannya masih dalam PSBB.
• Jadi Pembicara di Forum Internasional, Anies Baswedan Bagikan Pengalaman Tangani Corona di Jakarta
Dirinya lantas menyinggung soal New Normal yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurutnya, yang dimaksud oleh Jokowi yakni kehidupan menuju kehidupan baru tidak lagi dengan PSBB, melainkan dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
"Yang di mana kemudian masyarakat tahunya PSBB, PSBB kemudian menujunya New Normal, selesai."
"Artinya kalau diterjemahkan dari cara berpikirnya Bapak Presiden kan jelas arahnya kepada namanya New Normal kehidupan yang baru," terangnya.
"Dari sini yang kita lihat bahwa apa yang dilakukan oleh Malang atau DKI Jakarta ini kan malah membingungkan publik," kata Trubus.
Sementara itu, terkait pemikiran bahwa New Normal akan berdampak negatif karena diartikan salah oleh masyarakat, menurut Trubus merupakan tugas dari pemerintah daerah.
Hal itu akan ditentukan oleh pemerintah daerah dalam memberikan sosialisasi ataupun pemahaman kepada masyarakat tentang yang dimaksud dengan New Normal.
• Singgung DKI Jakarta, Pakar Kebijakan Publik Apresiasi Langkah Malang Raya dalam Tangani Corona
"Karena pada tataran itu masyarakat sudah maunya menuju kepada normal, tidak bahwa di dalamnya ada pemikiran apa itu nanti enggak kembali seperti semula," ungkap Trubus.
"Saya kira itu tergantung kapasitas daerah untuk melakukan satu sosialisasi, kedua komunikasi dan edukasi kepada masyarakat," katanya.
"Iya, menurut saya itu hanya improvisasi dalam pengertian untuk sekedar beda saja," pungkasnya.
Simak videonya mulai menit awal:
Pengamat Trubus Sebut PSBB Jadi Rancu: Tidak Bisa 'Ujug-ujug'
Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah menilai kebijakan new normal terlalu cepat diluncurkan.
Menurut Trubus, seharusnya ada edukasi menyeluruh untuk membentuk perilaku masyarakat dalam melakukan protokol kesehatan.
Seperti diketahui, new normal disebut sebagai cara hidup baru setelah adanya pandemi Virus Corona (Covid-19).
• Tak Sepakat dengan Istilah New Normal dari Pusat, Walkot Malang Sutiaji: Saya Ikuti Pedoman WHO
Dilansir TribunWow.com, hal itu disampaikan Trubus dalam acara Dua Arah di Kompas TV, Senin (8/6/2020).
Awalnya, ia mengomentari perbedaan pengertian pembatasan sosial berskala besar (PSBB) antara pemerintah pusat dengan daerah.
"Justru ada kendalanya di situ," kata Trubus Rahardiansyah.
Ia juga menyoroti kriteria standar new normal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization atau WHO).
Sebelumnya hal tersebut disinggung Wali Kota Malang Sutiaji saat membahas penerapan PSBB di wilayahnya.
Trubus menilai masyarakat tidak bisa langsung bersikap disiplin sesuai standar yang ditentukan, tetapi harus melalui proses.
"Bagaimana juga orang bisa langsung berperilaku sebagaimana yang diharapkan dalam konteks WHO?" tanya Trubus.
"Perilaku masyarakat itu 'kan tidak bisa ujug-ujug. Ada tahapan di mana kemudian masyarakat punya pemahaman yang utuh," tambahnya.
Trubus kemudian mengomentari penerapan PSBB yang diserahkan kepada wewenang kepala daerah masing-masing.
Ia menyebutkan hal itu menimbulkan hasil dalam tiap penerapan PSBB menjadi berbeda.
Menurut Trubus, seharusnya PSBB diseragamkan agar tidak menjadi rancu.
• Tak Mau Buru-buru Terapkan New Normal, Ganjar Ungkap Kewajiban Baru Warga: Jangan Salah Persepsi
"Tentunya jadi berbeda kalau memang kebijakannya berbeda," komentar Trubus.
"Kalau misalnya kita lihat daerah yang menerapkan PSBB dengan daerah yang tidak menerapkan PSBB dikatakan sama, otomatis nanti cara berpikirnya jadi rancu," lanjutnya.
Ia menyinggung daerah yang masih masuk zona merah tetapi sudah mulai melonggarkan PSBB.
"Menurut saya yang menerapkan PSBB ini karena daerah merahnya masih banyak," ungkap Trubus.
"Jadi kalau PDP dan ODP-nya masih tinggi seperti DKI Jakarta, ada 66 RW yang masih tinggi sekali, tidak mungkin kita langsung menerapkan kebebasan sebebas-bebasnya," lanjutnya.
Trubus menekankan penting untuk mengedukasi masyarakat terlebih dulu sebelum benar-benar menerapkan new normal.
"Masyarakat 'kan harus diedukasi dan dibimbing dulu," ungkap Trubus.
"Menurut saya membentuk perilaku itu tidak bisa ujug-ujug perilaku yang sudah menjadi budaya. Ada proses dulu, sosialisasi dulu," jelasnya.
(TribunWow/Elfan Nugroho/Brigita)