Virus Corona
Umpamakan New Normal Gagal, Ari Fahrial Desak Evaluasi Dulu PSBB: WHO pun Melihat Jumlah Kasus Baru
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FK UI Ari Fahrial Syam membahas risiko yang ada dalam penerapan new normal.
Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Tiffany Marantika Dewi
TRIBUNWOW.COM - Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia (FK UI) Ari Fahrial Syam membahas risiko yang ada dalam penerapan new normal.
New normal disebut sebagai cara hidup baru sesudah mengenal pandemi Virus Corona (Covid-19).
Kebijakan itu akan diterapkan menyusul pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang segera selesai di sejumlah daerah.

• Soroti Kebiasaan Jokowi, Ini Saran Agus Pambagio soal New Normal: Kita Punya Presiden Suka Blusukan
Dilansir TribunWow.com, Ari Fahrial menyebutkan ada sejumlah risiko yang terjadi jika new normal gagal dilaksanakan.
Seperti diketahui, new normal menuai sorotan karena saat ini pertumbuhan kasus positif Virus Corona masih tinggi.
Awalnya, ia meminta pemerintah terlebih dulu mengevaluasi PSBB sebelum beranjak ke new normal.
"Pertama, kita mesti evaluasi juga dari PSBB ini 'kan ada yang berhasil ada yang tidak berhasil," kata Ari Fahrial Syam, dalam tayangan Kompas TV, Kamis (28/5/2020).
Ia mengakui PSBB turut berdampak pada sektor ekonomi.
"Kita lihat masyarakat ada juga yang mengalami kesulitan dalam PSBB ini karena kebutuhan perutnya," jelas Ari.
"Dia harus tetap ada di jalan, misalnya," lanjutnya.
Saat new normal mulai berjalan, Ari menyebutkan harus tetap ada evaluasi setiap saat.
"New normal pun harus evaluasinya harus dari waktu ke waktu, time by time harus benar-benar dilihat," ungkap Ari.
Ia menekankan pentingnya kriteria pertumbuhan kasus baru dalam pertimbangan new normal.
• New Normal, Sekolah akan Dibuka 15 Juni, Kak Seto Minta Jangan Kejar Target: Kemudian Banyak Korban
Seperti diketahui, pertambahan kasus baru di Indonesia sejumlah 687 pasien per Kamis (28/5/2020) sore.
"Jumlah kasus itu menjadi salah satu parameter yang penting," tegas Ari.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization atau WHO) juga melihat pertumbuhan kasus tersebut sebagai faktor utama sebelum melonggarkan lockdown di berbagai negara.
"WHO pun, berbagai negara pun, melihat jumlah kasus baru, ada klaster baru," kata Ari.
"Ini yang harusnya jadi patokan kita," lanjutnya.
Jika kasus baru masih bertambah secara signifikan, Ari menyebutkan new normal harus dijalankan dengan tegas.
"Ketika jumlah kasus ini terus masih naik, ini kita bahaya. Artinya penerapan new normal harus benar-benar ketat," papar Ari.
"Kalau masyarakat tidak konsisten atau perusahaan yang menerapkan new normal ini tidak berkomitmen penuh, ya lebih baik tidak dilakukan," tambah dia.
"Lebih baik semua stay at home saja," kata Ari.
Ia menyebutkan new normal baru siap diterapkan jika sudah tidak ada pertumbuhan kasus baru secara signifikan.
"Bicara soal waktu kapan, saya kembali lagi. Ketika suatu daerah itu sudah menurun jumlah kasusnya, bahkan tidak ada kasus lagi, silakan," jelas Ari.
"Tapi sekali lagi, ini harus konsisten," tegasnya.
• Tanggapan Ahli soal Waktu Penerapan New Normal di Indonesia, Apakah Juni Terlalu Cepat?
Lihat videonya mulai menit 4:00
Pakar Anjurkan Tunda New Normal
Pakar Epidemiologi Pandu Riono menilai masyarakat saat ini belum siap menerima kebijakan new normal.
New normal disebut sebagai cara hidup baru setelah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berakhir.
Meskipun begitu, kebijakan new normal menuai sorotan karena kurva pertumbuhan kasus Virus Corona (Covid-19) di Indonesia masih tinggi.
• Jokowi Minta Sektor Pariwisata Beradaptasi dengan New Normal: Pandemi Mengubah Tren Wisata Dunia
Dilansir TribunWow.com, Pandu Riono menyebutkan sebaiknya kebijakan itu ditunda sampai benar-benar siap.
Menurut Riono, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana masyarakat menyikapi new normal.
"Yang akan terjadi masyarakat perlu disiapkan, nanti akan terjadi euforia," kata Pandu Riono, dalam acara Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV, Kamis (28/5/2020).
"Seakan-akan pandemi ini sudah selesai padahal belum," lanjutnya.
Ia menyebutkan new normal bukan berarti melonggarkan kewaspadaan setelah PSBB berakhir.
"Padahal kita melakukan kelonggaran sekaligus peningkatan kewaspadaan," jelasnya.
Riono menilai sosialisasi yang baik benar-benar dibutuhkan saat ini untuk memberikan edukasi.
"Ini peningkatan kewaspadaan harusnya mulai sekarang dibangun dengan strategi komunikasi yang baik, komunikasi publik," kata Riono.
Ia juga mendorong pemerintah agar menjadi bagian dari masyarakat.
Riono menambahkan pentingnya peran masyarakat dalam new normal agar beban pemerintah tidak terlalu berat.
"Kita tidak mungkin semuanya diurusin oleh pemerintah. Jadi sekarang masyarakat sudah harus mengambil alih," jelas Riono.

• Kekhawatiran Gelombang Dua Corona, IDI Singgung Pernyataan Anies Baswedan: New Normal Harus Ketat
"Masyarakat akar bawah mulai melakukan promosi dan edukasi kepada semua lapisan masyarakat," lanjutnya.
Menurut dia, perlu diberikan pengertian tentang agar masyarakat tidak berlebihan saat new normal mulai berlaku.
"Dengan mengajak dan memfasilitasi itu, lebih cepat masyarakat sadar dan tidak perlu terjadi euforia saat dilonggarkan," katanya.
"Mungkin epidemiologinya sudah memenuhi syarat, tapi masyarakatnya belum siap," tegas Riono.
Ia bahkan menganjurkan new normal dapat ditunda terlebih dulu jika memang belum siap.
"Ya, mungkin kita harus tunda dulu pelonggaran ini kalau kita berani," kata Riono.
"Banyak negara kayak Taiwan menunda pelonggaran karena masyarakatnya masih belum siap," lanjutnya. (TribunWow.com/Brigitta Winasis)