Virus Corona
Penyebaran Corona Cenderung Turun, Pakar UI Singgung Jabar yang Banyak Tak Taat PSBB: Paling Buruk
Pakar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Dokter Pandu Riyono mengungkap efek Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Penulis: Mariah Gipty
Editor: Ananda Putri Octaviani
TRIBUNWOW.COM - Pakar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Dokter Pandu Riyono mengungkap efek Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Hal itu diungkapkan dokter Pandu Riyono saat menjadi narasumber dalam acara Kabar Petang tv One pada Minggu (26/4/2020).
Dokter Pandu Riyono mengatakan bahwa kurva penyebaran Virus Corona cenderung menurun setelah adanya PSBB.
• Tenaga Medis RS di Solo Ungkap Perasaannya Tiap Jaga Pasien Covid-19: Seperti Tunggu Sidang Skripsi
"Sudah kelihatan menurun dan kita mengharapkan sudah di antara effect impact moderate, dan effect high intensity," kata dokter Pandu.
Lalu, ia sempat membandingkan penyebaran Virus Corona apabila warga tetap keluyuran dengan tetap berada di dalam rumah.
"Tapi itu kita lihat misalnya dari saya baru tadi siang menganalisis data dari Google di beberapa provinsi dengan indikator mereka yang tinggal di rumah," sambungnya.
Meski PSBB sudah menunjukkan dampak positifnya, dokter Pandu menyayangkan baru 50-60 persen orang di Jakarta yang patuh pada kebijakan tersebut.
"Yang di Jakarta baru 50 persen sampai 60 persen yang tinggal di rumah, padahal efeknya kita harapkan sampai 80 persen mereka tinggal di rumah, baru terlihat efeknya," lanjutnya.
• UPDATE Virus Corona di Indonesia 27 April 2020: 9096 Kasus Positif, 765 Meninggal, 1151 Sembuh
Lalu, dokter Pandu menyebut Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang juga kurang baik dalam menerapkan PSBB.
"Sedangkan yang paling buruk adalah di sekitar di bawahnya adalah penduduk di Provinsi Jawa Barat, dan yang terburuk adalah sekitar hanya di antara 30 persen sampai 40 persen yang masih keluyuran di luar," ungkapnya.
Sehingga, dokter Pandu menilai PSBB akan tidak berdampak signifikan jika daerah tidak kompak menerapkan aturan dari pemerintah tersebut.
"Ini yang masih menjadi masalah, kita bisa saja menyelesaikan cepat di Jakarta tetapi kalau provinsi menyesuaikan dengan waktu yang sama seringkali menjadi tidak siap semua mencabut PSBB ini," ucapnya.
Lihat videonya mulai menit ke-4:41:
Mengapa Virus Corona Menyebar Lebih Cepat di Eropa Ketimbang Asia, termasuk Indonesia?
Virus Corona kini sudah menyebar di hampir seluruh dunia.
Kini jumlah kasus terbanyak Virus Corona masih terjadi di Amerika Serikat disusul dengan Spanyol dan Italia
Namun, penyebaran Virus Corona di dunia tampak terjadi lebih cepat dan banyak di negara-negara Eropa.
• Beri Wejangan Jokowi soal Corona, Pengamat Imbau sang Presiden Konsultasi dengan PDIP, Ini Sebabnya
Di negara-negara Eropa seperti Spanyol hingga Prancis, kasus Virus Corona sudah mencapai lebih dari seratus ribu.
Sedangkan, di negara-negara Asia Tenggara di mana secara geografis lebih dekat dengan Wuhan, China di mana menjadi daerah pertama pusat Virus Corona justru penemuan kasusnya tak terlalu banyak dibanding Eropa.
Spesialis Virologi dan Epidemiologi asal Inggris, Stanley Mitchell lantas mencoba menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi.
Berdasarkan wawancara TribunWow.com melalui WhatsApp pada Jumat (24/4/2020), Stanley menilai bahwa hal itu terjadi karena berbagai faktor.
Ia menjelaskan jumlah kasus Virus Corona yang dimiliki sekarang baru bersifat sementara dan cenderung bisa berubah-ubah.
Semakin banyak pengujian dilakukan maka semakin besar pula kemungkinan perubahan data yang terjadi.
"Tetapi dalam hal pengumpulan statistik dan analisis semua yang kita miliki sekarang sangat sementara dan cenderung berubah karena lebih banyak data dirilis dan analisis di masa depan maka akan lebih jelas apa yang terjadi," kata Stanley.
Menurut Stanley perbandingan cukup signifikan soal penyebaran Virus Corona di Eropa dan Asia Tenggara khususnya juga faktor pengetesan.
Sebagaimana diketahui, Virus Corona sering kali terjadi tanpa gejala.

• Pakar Sebut Virus Corona Muncul akibat Ulah Manusia, Begini Penjelasannya
Tanpa pengetesan, seseorang tidak akan diketahui pasti terinfeksi Virus Corona atau tidak.
"Salah satu penjelasan yang paling banyak dibahas untuk perbandingan penyebaran Virus Corona di Eropa dan Asia adalah dalam pengujian."
"Semakin jelas bahwa sebagian besar infeksi COVID-19 tidak menunjukkan gejala, atau menghasilkan gejala yang sangat ringan. Tanpa pengujian luas, orang-orang ini tidak akan terdeteksi," ucap Stanley.
Stanley menjelaskan bahwa tingkat pengujian di negara-negara Eropa lebih banyak dibanding negara-negara Asia, termasuk Indonesia.
"Di Asia, rata-rata tingkat pengujian lebih rendah daripada rata-rata Eropa per kapita," ucapnya.
Peneliti 25 tahun ini lantas menyinggung soal melonjaknya kasus kematian misterius di Jakarta dengan protokol Covid-19.
Sehingga memunculkan dugaan sudah banyak orang terkena Virus Corona namun belum terdeteksi.
"Lonjakan penguburan baru-baru ini di Jakarta, misalnya, telah banyak dibahas sebagai indikator peningkatan kematian yang disebabkan oleh beberapa orang karena penyebaran virus Corona yang tidak terdeteksi."
"Untuk saat ini, visibilitas dikaitkan dengan tingkat pengujian yang diterapkan suatu negara, dan persentase kasus yang mengakibatkan rawat inap atau kematian," jelasnya. (TribunWow.com/Mariah Gipty)