Breaking News:

Viral Keraton Agung Sejagat

Solusi Menghindari Kerajaan Fiktif, Pengamat Sosial: Selalu Pertanyakan dan Jangan Mudah Tergiur

Pengamat sosial Devi Rahmawati menyebutkan ada beberapa cara untuk menghindari tergiur dengan iming-iming yang ditawarkan kerajaan fiktif.

Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Lailatun Niqmah
Capture Youtube KompasTV
Pengamat sosial UI Devi Rahmawati menjelaskan tips menghindari kegiatan kerajaan palsu, dalam tayangan KompasTV, Sabtu (18/1/2020). 

TRIBUNWOW.COM - Munculnya Keraton Agung Sejagat dan beberapa keraton lain, tak hanya meresahkan warga, rupanya juga dapat menarik banyak pengikut.

Dilansir TribunWow.com, pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devi Rahmawati menyebutkan ada beberapa cara untuk menghindari tergiur dengan iming-iming yang ditawarkan kegiatan tersebut.

Awalnya, Devi menjelaskan fenomena serupa tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di beberapa negara maju ada peristiwa serupa yang terjadi.

Roy Suryo Ungkap Dugaan Alasan Adanya Fenomena Keraton Palsu: Berharap Ada Dana Istimewa Pemerintah

"Kita kemudian jangan merasa bahwa negara kita paling terbelakang. Faktanya, negara-negara maju juga demikian," kata Devi dalam tayangan Sapa Indonesia Malam di KompasTV, Sabtu (19/1/2020).

Menurut Devi, meskipun saat ini era digital, tidak semua orang mengecek fakta yang ada.

"Begitu di era digital di mana rezim kecepatan itu melebihi ketepatan, akhirnya tidak ada gunanya juga," kata Devi.

"Karena pada akhirnya orang hanya akan percaya apa yang ingin dia dengar, hanya ingin melihat apa yang dia lihat," lanjutnya.

Oleh karena sifat manusia itu, Devi menyebutkan solusi pertama menghindari hal-hal yang irasional adalah selalu mempertanyakan kebenaran fakta.

"Biasakan untuk mempertanyakan sesuatu," tegasnya.

Menurut Devi, umumnya ada dua hal yang ditawarkan kerajaan tersebut.

"Biasanya pendekatan narasinya hanya dua, menimbulkan kesenangan atau ketakutan. Misalnya dia menjanjikan ada akhir zaman, mau ada bencana, dan sebagainya," terang Devi.

"Atau, akan segera mendapatkan jabatan, akan segera mendapatkan harta kekayaan hanya dengan investasi sekian X dalam waktu tiga bulan, sebulan, dan sebagainya," tambahnya.

Pada titik ini, kita sudah harus mulai mempertanyakan kebenaran dari tawaran yang dijanjikan.

"Begitu sesuatu itu sudah sangat menyenangkan, too good to be true, kita mempertanyakan, masak sih? Itu saja tekniknya," katanya.

Devi menyebutkan tips yang kedua adalah berhenti membandingkan diri dengan orang lain.

Dengan membandingkan diri dengan orang lain, akan mudah merasa iri dengan kesuksesan orang lain sehingga ingin derajat hidupnya naik secara cepat dengan instan.

Tak Hanya Keraton Agung Sejagat, Hal Serupa Juga Sempat Viral, Kerajaan Ubur-ubur hingga Gafatar

Memastikan Kebenaran Fakta

Selain itu, Roy Suryo selaku keturunan Puro Pakualaman menjelaskan sudah ada organisasi resmi keraton-keraton yang ada di Indonesia.

"Sekarang sebenarnya ada lembaga resmi. Ada namanya Musyawarah Keraton Nusantara," kata Roy Suryo dalam tayangan yang sama.

"Itu resmi, artinya ada sekitar 205 keraton yang ada," lanjutnya.

Roy menyebutkan sebetulnya keraton-keraton itu masih dapat bertumbuh, termasuk keraton yang resmi sekalipun.

"Artinya, lihatlah pada data dan fakta yang sebenarnya. Cek data dan fakta," tegas Roy.

Ia melanjutkan saat ini ada banyak teknologi yang memungkinkan penggalian data sejarah melalui satelit.

Menurut Roy, apabila ada orang-orang yang tidak bertanggung jawab menggunakan data tersebut, dapat terjadi tindakan kriminal yang merugikan orang lain.

Lihat videonya dari menit awal:

Alasan Pengikut

Selain itu, Devi Rahmawati menyebutkan ada beberapa kemungkinan orang mau menjadi pengikut kerajaan fiktif tersebut.

Dilansir TribunWow.com dari tayangan KompasTV, awalnya Devi menjelaskan fenomena kerajaan fiktif tidak hanya muncul di Indonesia.

 Viral Keraton Agung Sejagat hingga Sunda Empire, Rocky Gerung Kritik Polisi: Kurang Imajinasi

"Jadi kalau berdasarkan studi di dunia, kepercayaan bagaimana sebuah masyarakat atau komunitas percaya pada hal-hal yang bersifat fiktif, atau tidak nyata kemudian tidak dapat dipertanggungjawabkan, itu bukan hanya milik komunitas timur seperti Indonesia," kata Devi, Sabtu (18/1/2020).

Devi menyebutkan sebesar 65 persen responden percaya pada teori konspirasi, berdasarkan penelitian yang dilakukan di sembilan negara pada 2012 sampai 2018.

Dengan tingkat pendidikan tinggi dan kualitas hidup yang baik, Devi menyebutkan ada alasan warga negara-negara tersebut masih memercayai hal-hal yang tidak masuk akal itu.

"Karena ternyata ada kaitannya dengan ketidakpercayaan pada pemerintah, misalnya," kata Devi.

"Artinya apa? Ada ketidakpuasan. Yang kemudian hal-hal tidak rasional tadi menjadi cara bagi mereka, bagi warga manapun, tidak mengenal ras, tidak mengenal latar belakang pendidikan untuk menemukan jawaban sementara," jelasnya.

Sebagai contoh, Devi menyebutkan dalam kemunculan Kerajaan Sunda Empire ada pernyataan tentang kekecewaan terhadap pemerintah.

"Kalau di kita kerajaan, di Amerika atau Eropa itu apa yang terjadi? Mereka bilang bahwa sebenarnya yang mengatur dunia ini bukan pemerintahan mereka," kata Devi menjelaskan kepercayaan orang terhadap teori konspirasi.

"Tapi ada sebuah konspirasi atau komplotan besar. Jadi cara berpikirnya beda, tapi sebenarnya sama. Hanya casing-nya dan narasinya sedikit berbeda. Konten tetap sama," tambahnya.

(TribunWow.com/Brigitta Winasis)

Sumber: Kompas TV
Tags:
Keraton Agung SejagatBerita ViralPurworejo
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved