Breaking News:

Banjir di Jakarta

Cerita Para Mantan Gubernur Jakarta Atasi Banjir, dari Nongkrong di Pintu Air sampai Menggusur Warga

Berbagai era pemerintahan provinsi DKI Jakarta sudah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi dampak banjir, ini cerita para mantan gubernurnya.

Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Lailatun Niqmah
KOMPAS/JB SURATNO
Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. 

TRIBUNWOW.COM - Banjir sudah menjadi masalah tahunan yang menimpa wilayah DKI Jakarta.

Dalam berbagai era pemerintahan Jakarta, sudah dilakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi dampak banjir.

Bahkan isu penanganan banjir menjadi satu di antara sorotan dalam pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta.

Bahas soal Peringatan Dini Banjir Jakarta, Anggota TGUPP Sebut Tak Ada Informasi yang Jelas

Cerita Ali Sadikin

Dikutip TribunWow.com dari Kompas.com, Jumat (17/1/2020) satu di antara pemimpin DKI Jakarta yang pernah berusaha mengatasi banjir adalah Ali Sadikin.

Melalui buku Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977, Gubernur DKI Jakarta ketujuh ini menjelaskan beberapa program yang pernah ia lakukan untuk mengatasi banjir.

"Yang bisa saya lakukan hanyalah mengeruk muara-muara sungai, normalisasi sungai dan saluran, pembuatan waduk penampungan air dan pemasangan instalasi-instalasi pompa pembuangan air," tulis Ali dalam bukunya.

Pada saat itu sejumlah daerah yang ketinggiannya lebih rendah daripada permukaan laut sangat rawan banjir.

"Tempat-tempat itu ialah di sebelah selatan Banjir Kanal. Tanah Abang, Gunung Sahari, daerah Menteng, Pademangan, Sunter, semuanya lebih rendah dari permukaan laut. Petanya pun sudah ada mengenai ini," jelas Ali.

Banjir disebabkan oleh luapan Sungai Ciliwung, Cisadane, dan cabang-cabangnya.

Menurut Ali, banjir tidak dapat diatasi sampai sistem drainase dibangun dengan baik.

"Tidak bisa dihindarkan sampai kapan pun, selama kita tidak mengadakan sistem drainase yang sempurna. Untuk mengatasi bahaya itu dengan tuntas, biayanya mahal, terlalu mahal," lanjutnya.

Pada saat itu, biaya pembangunan drainase mencapai USD 800 juta.

Padahal perhitungan biaya proyek penanggulangan banjir berdasarkan rencana induk hanya Rp 500 miliar.

"Sedangkan pada tahun anggaran 1976-1977 dalam sistem macro drainage, program-program ditujukan pada penyempurnaan waduk-waduk saluran dan banjir kanal," jelas Ali.

Pada tahun 1975-1976, dana sebesar Rp 4,2 miliar dikucurkan pemerintah pusat untuk membantu penanggulangan banjir.

Dana tersebut digunakan untuk membangun Waduk Setiabudi, Waduk Melati, dan Waduk Pluit.

Selain itu, sejumlah saluran air dikerjakan, seeprti Saluran Cakung, Banjir Kanal, Pintu Air Karet, pengerukan Kali Cideng, dan Jembatan Gantung Tanah Abang.

Gugat Anies Baswedan, Tim Advokasi Korban Banjir DKI Singgung Kampanye Pilkada: Harusnya Sudah Fasih

Ali menuturkan banjir pada saat itu sangat merepotkan pemerintahannya.

"Banjir sewaktu saya bertugas sangat merepotkan kita," katanya.

Pada saat itu, Ali bahkan sempat "nongkrong" di Pintu Air Manggarai untuk mengawasi ketinggian air.

"Dengan mengenakan jas hujan, pakaian agak tebal supaya tidak cepat tembus air, topi penahan air hujan, sepatu bot dari karet saya keluar rumah dan nongkrong di Pintu Air Manggarai mengawasi dan ikut mengatur kalau-kalau Banjir Kanal itu airnya naik," ceritanya.

Ia meyakini Jakarta dapat hancur diterjang banjir apabila Banjir Kanal jebol.

"Hendaknya diketahui, bahwa kalau Banjir Kanal bobol hancurlah kota Jakarta. Kita mesti pandai mengatur sampai mana kita bisa menenggang air itu bisa masuk Ciliwung, untuk mengamankan Banjir Kanal," tulis Ali.

Ali menyadari upayanya hanya upaya jangka pendek yang tidak menyelesaikan keseluruhan masalah.

"Yang bisa saya lakukan hanyalah mengeruk muara-muara sungai, normalisasi sungai dan saluran, pembuatan waduk penampungan air dan pemasangan instalasi-instalasi pompa pembuangan air," kata Ali.

Masa Pemerintahan Wiyogo Atmodarminto

Mantan Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto juga pernah membahas penyebab Jakarta rawan banjir.

Dalam bukunya Catatan Seorang Gubernur, ia menyebutkan rendahnya topografi Jakarta membuat air dari Jawa Barat mengalir ke Jakarta untuk bermuara di Laut Jawa.

"Sebab, banjir antara lain karena topografi wilayah DKI lebih rendah dari wilayah Jawa Barat. Akibatnya, sungai-sungai yang berhulu di Jawa Barat mengalir ke DKI untuk membuang airnya ke laut Jawa," tulis Wiyogo dalam buku tersebut.

Menurut Wiyogo, permukaan Jakarta seharusnya berada tujuh meter di atas permukaan laut.

Meskipun demikian, seiring pembangunan yang terus dilakukan, permukaan Jakarta menjadi semakin rendah.

Penurunan permukaan tanah antara lain disebabkan oleh air tanah yang terus disedot sehingga menimbulkan rongga pada tanah.

"Karena air resapan dari selatan belum masuk, dan air laut dari utara juga belum masuk, maka terjadi kekosongan," jelas Wiyogo.

"Rongganya tidak bisa menanggung beban. Terjadilah penurunan tanah. Akibat penurunan ini, sistem pencegahan banjir menjadi kacau," lanjutnya.

Akibatnya, air laut dapat meresap masuk untuk mengisi rongga tersebut.

"Akibat negatif lainnya, air laut akan meresap masuk dan merusak komposisi tanah," terang Wiyogo.

Menurut penjelasan Wiyogo, di era kepemimpinnya pada 1987-1992 telah diterbitkan sejumlah aturan untuk mengatasi penurunan permukaan tanah.

Antara lain adalah Surat Keputusan Nomor 17 tahun 1991 yang mewajibkan warga di selatan Jakarta membuat sumur resapan.

"Air hujan yang turun dari genteng harus masuk kembali ke dalam tanah. Ini untuk mengisi air tanah dangkal," katanya.

Untuk mengatasi persoalan banjir, pemerintah kemudian membangun Banjir Kanal Timur dan Barat yang dapat menampung luapan air sungai di Jakarta, termasuk air yang dikirim dari wilayah hulu di Jawa Barat.

Pengalaman Sutiyoso

Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (26/8/2019).
Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (26/8/2019). (KOMPAS.COM/RYANA ARYADITA UMASUGI)

Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pernah menghadapi banjir yang menggenangi 70 persen wilayah ibu kota.

Menjelang akhir masa jabatannya pada 2007, Jakarta diguyur hujan deras, mendapat kiriman banjir dari Sungai Ciliwung, serta terjadi rob dari daerah pesisir Jakarta.

Ketiga faktor tersebut membuat banjir pada saat itu sangat parah.

Ia kemudian membandingkan banjir pada 2013 dengan saat 2007.

"Waktu 2007 awal, jelang jabatan berakhir, terjadi seperti ini. Sekilas ini masih di bawah 2007. Kalau dulu 70 persen wilayah Jakarta tenggelam. Kalau sekarang 'kan tidak sebanyak itu," kata Sutiyoso, dikutip dari Tribunnews, Kamis (17/1/2013).

Ia menyebutkan untuk mengatasi banjir rob, dapat digunakan giant wall sea.

Sutiyoso juga menyarankan agar dilakukan pembenahan drainase.

"Yang susah itu kiriman dari Selatan (Bogor-Depok). Dan yang selatan itu tidak terjangkau Gubernur DKI," kata Sutiyoso.

Didebat Azas Tigor soal Polemik Banjir DKI, Haji Lulung Justru Ancam akan Gugat Jokowi, Ada Apa?

Era Kepemimpinan Ahok

Ahok
Ahok (TRIBUNNEWS.COM)

Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok adalah Gubernur DKI Jakarta yang menggantikan Joko Widodo pada 2014 sampai 2017 juga melakukan berbagai upaya normalisasi Sungai Ciliwung.

Dikutip dari Tribunnews, normalisasi adalah upaya melebarkan sungai dengan cara menggusur warga yang tinggal di bantaran sungai.

Bantaran sungai yang telah bersih dari permukiman warga itu kemudian dibetonisasi.

Warga yang semula tinggal di tepian kali dipindahkan ke rumah-rumah susun yang telah disiapkan Pemprov DKI Jakarta.

Selain normalisasi, ia berupaya memperbaiki pompa yang rusak.

Ahok juga pernah membuat fasilitas penampungan air seperti situ, waduk, embung, dan kanal.

"Pada program pembangunan prasarana dan sarana pengendali banjir telah dilaksanakan sejumlah kegiatan. Di antaranya pengembangan situ, waduk, embung dan kanal," jelas Ahok, 6 April 2015.

Pembebasan lahan di sejumlah wilayah dilakukan, seperti Waduk Kampung Rambutan, Waduk Kampung Rambutan 1, Sunter Hulu, Kanal Banjir Timur, Kali Pesanggrahan, Kali Sunter, dan Kali Ciliwung dengan total 71.113 hektare.

Program berikutnya yang ia lakukan adalah membuat sumur resapan dan lubang biopori.

Total yang dibuat pada saat itu 272 sumur resapan dan 667.573 lubang biopori.

(TribunWow.com/Brigitta Winasis)

Tags:
Banjir di JakartaSutiyosoBasuki Tjahaja Purnama (Ahok)Anies BaswedanAli Sadikin
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved