Terkini Nasional
Presiden Jokowi Sebut Kemungkinan Hukuman Mati bagi Koruptor, Pengamat: Pernyataan Kosong
Peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta nilai pernyataan Presiden Jokowi soal hukuman mati koruptor adalah retorika.
Penulis: Fransisca Krisdianutami Mawaski
Editor: Lailatun Niqmah
TRIBUNWOW.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan pernyataan soal kemungkinan hukuman mati bagi para koruptor di Indonesia, yang disebut bisa dilakukan.
Hal ini kemudian ditanggapi oleh sejumlah pihak, satu di antaranya adalah peneliti Peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Pukat UGM) Zaenur Rohman.
Menurut Zaenur, pernyataan Jokowi soal penerapan hukuman mati untuk koruptor hanya omong kosong belaka.
• Temui Jokowi soal Kasus Novel Baswedan, Polri Sebut Segera Terungkap: Tak akan sampai Berbulan-bulan
Zaenur menilai selama ini Jokowi tak menunjukkan komitmen untuk pemberantasan korupsi.
"Ini adalah pernyataan kosong dari presiden untuk memperlihatkan seolah-olah presiden punya komitmen pemberantasan korupsi, padahal presiden sangat tak memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi," kata Zaenur seperti yang dikutip dari Kompas.com, Selasa (10/12/2019).
Ia lalu menyebutkan contoh tidak adanya komitmen Jokowi baru-baru ini, yaitu soal pemberian grasi pada koruptor.
"Jangan kan komitmen, presiden malah permisif menurut saya, semakin longgar terhadap korupsi dengan berikan grasi terhadap Annas Maamun," ujar Zaenur.
Diketahui Jokowi mengabulkan grasi pada terpidana korupsi Annas Mammun dengan alasan kesehatan.
Zaenur menilai alasan tersebut tak kuat, ia mengatakan ada cara lain untuk menanggulangi masalah tersebut.
"Ini juga tak beralasan menurut saya, hanya karena sakit-sakitan justru seharusnya dijawab penanganan fasilitas kesehatan, kalau mau presiden peduli terhadap warga binaan di lapas," paparnya.
Saat ini yang terpenting dalam pemberantasan korupsi adalah penguatan kinerja lembaga-lembaga penegakan antikorupsi seperti KPK serta Polri dan kejaksaan.
Menurut Zaenur, hal tersebut lebih penting daripada membicarakan soal hukuman mati.
"Justru yang dibutuhkan adalah lembaga-lembaga pemberantasan korupsi itu lah yang harus dibersihkan atau direvitalisasi. Siapa yang mau memberantas korupsi sekarang kalau KPK dipreteli kewenangannya? Tak ada kan," ucap dia.
• Jokowi Masih Pertimbangkan Penerbitan Perppu KPK, Sebut Hal Penting Dalam Penindakan Korupsi
Hukuman Mati bagi Koruptor
Sebelumnya diberitakan, presiden menyatakan apabila terdapat masukan dari masyarakat soal hal itu akan direalisasikan oleh pemerintah.
Namun hal tersebut tergantung pada keputusan dan mekanisme di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
"Itu yang pertama kehendak masyarakat, kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU pidana tipikor, itu (bisa) dimasukkan," papar Jokowi, dikutip dari tvOne, Senin (9/12/2019).
"Ya bisa saja kalau itu memang kehendak dari masyarakat, tapi tergantung yang ada di legislatif."
Sebelumnya terkait hukuman mati bagi para koruptor sempat disinggung oleh seorang siswa SMK bernama Harley Hermansyah dalam acara tersebut.
Saat itu Jokowi menghadiri pentas drama "Pentas Tanpa Korupsi" yang diselenggarakan di SMK Negeri 57, Pasar Minggu, Jakarta bersama sejumlah menteri.
Ia lalu meminta sejumlah siswa maju ke depan untuk mengajukan pertanyaan padanya.
Kesempatan itupun tidak disia-siakan oleh Harley Hermasyah.
Harley pun bertanya pada Jokowi mengenai penegakan hukuman yang tegas bagi koruptor saat acara peringatan Hari AntiKorupsi Sedunia yang diselenggarakan di sekolahnya.
"Kenapa negara kita dalam mengatasi koruptor tidak terlalu tegas? Kenapa tidak berani seperti di negara maju, misalnya dihukum mati?," tanya siswa kelas XII jurusan tata boga tersebut.
Mendengar pertanyaan Harley tersebut membuat seluruh siswa di ruangan itu bertepuk tangan.
Jokowi kemudian mengungkapkan hukuman mati bagi koruptor dapat dilakukan apabila ada undang-undang yang mengaturnya.
"Ya kalau di undang-undangnya memang ada yang korupsi dihukum mati itu akan dilakukan, tapi di UU tidak ada yang korupsi dihukum mati," jawab Jokowi.
• Sejumlah Pegawai KPK Mengundurkan Diri karena akan Dijadikan ASN, Saut Situmorang: Bukan soal Gaji
Tak Hadir di KPK
Saat peringatan Hari Anti Korupsi kemarin (Senin, 9/12/2019), Presiden Jokowi lebih memilih menghadiri acara peringatan di SMK Negeri 57, Pasar Minggu, Jakarta ketimbang menghadiri acara di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta.
Ia kemudian mengutus Wakil Presiden Maruf Amin untuk datang ke gedung merah putih tersebut.
Hal tersebut kemudian mendapat reaksi dari Indonesia Corruption Watch ( ICW).
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo pun menilai ada yang salah antara hubungan Presiden Joko Widodo dengan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) saat ini.
"Ada yang salah dalam hubungan antara Presiden dengan KPK," ujar Adnan seusai membuka Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia bertajuk Festival Bersama Kawan: Merawat Ingatan Kolektif yang digelar ICW di Taman Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019), dikutip dari Kompas.com.
Ketidakhadiran Jokowi disebut akan memberikan dampak buruk dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi ke depannya.
Pasca-polemik pengesahan undang-undang (UU) KPK beberapa waktu lalu, menurut Adnan, saat ini ia melihat sudah tidak ada hubungan kedekatan dan komunikasi baik antara Jokowi dan KPK .
"Salahnya karena tidak ada chemistry, komunikasi yang baik yang ini sebenarnya bisa membawa angin segar terutama bagaimana upaya mensinkronisasi agenda pemberantasan korupsi bisa dilakukan," kata dia.
Adnan lalu mencontohkan pimpinan di negara lain seperti Singapura.
Perdana Menteri Singapura dikatakan selalu memberikan pidato pada perayaan Hari Antikorupsi Sedunia.
Hal ini disebabkan baik Perdana Menteri maupun Presiden merupakan simbol negara yang pidatonya kerap kali berkaitan dengan komitmen negara bersangkutan dalam pemberantasan korupsi.
"Ketika ini diwakilkan dan Presiden memilih acara di tempat lain meski acaranya berkaitan dengan perayaan hari antikorupsi, saya kira ini adalah model yang sekarang ini semakin sering kita lihat sebagai sikap Presiden," kata dia.
"Terutama yang memanfaatkan gimmick-gimmick, sesuatu yang sudah tak perlu lagi digunakan karena ini sudah periode kedua kepemimpinan," paparnya.
• Kata Jokowi soal Usulan Hukuman Mati bagi Koruptor: Kalau Masyarakat Berkehendak, Bisa Saja
Adnan menegaskan yang dibutuhkan saat ini adalah pernyataan dan tindakan presiden yang selaras dengan ucapan.
Artinya, jika Presiden berbicara penguatan KPK maka seharusnya hal tersebut sama dengan kebijakannya.
"Secara simbolik itu menyurutkan semangat pemberantasan korupsi karena selama ini yang dianggap garda terdepan pemberantasan korupsi adalah KPK dan semestinya Presiden berikan dukungan penuh," kata dia.
"Hari ini kan puncak perayaan hari antikorupsi sedunia, Presiden punya momentum untuk sampaikan gagasan, konsep, dan komitmen dalam pemberantasan korupsi," tandasnya.
(TribunWow.com/Fransisca Mawaski)