Kabinet Jokowi
Tanggapi soal Desa Fiktif, Wamen Desa PDTT Budi Arie Setiadi: Enggak Sistemik, Enggak Masif
Wakil Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Budi Arie Setiadi menanggapi soal desa fiktif.
Penulis: Fransisca Krisdianutami Mawaski
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Wakil Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Budi Arie Setiadi menanggapi soal desa fiktif.
Dikutip dari tayangan YouTube Kompas Tv, Kamis (7/11/2019), ia mengatakan keberadaan desa fiktif bukanlah sesuatu yang besar.
"Bahwa desa fiktif itu, enggak sistemik, enggak masif, jumlah puluhan dibanding 74 ribu desa kan enggak signifikan kan," katanya.
• Soal 3 Desa Fiktif di Konawe, Wakil Bupati sebut Dana Rp 5,8 M Tak Pernah Dicairkan
Saat ditanya mengenai munculnya desa fiktif, Budi menyatakan hal itu muncul karena kesalahan administrasi.
Selain itu, ia juga menjelaskan mengenai desa fiktif itu.
"Administratif. Jadi ada undang-undang desa di tahun 2014 itu, Undang-Undang Nomor 6 (tahun) 2014 tentang desa itu, ada pasal pelarian, yang menyatakan desa-desa yang sudah berdiri sebelum undang-undang ini berlaku, statusnya tetap desa," jelasnya.
Untuk itu, pihaknya mendorong untuk melakukan verifikasi terhadap desa-desa di seluruh Indonesia.
Budi mengatakan ada sebanyak 15 desa yang diindikasikan fiktif.
Ia lalu menyebutkan di mana saja desa itu berada.
"Ada di Jawa Timur, di Sidoarjo, karena desanya sudah tidak ada penduduknya karena korban (lumpur) Lapindo, lalu di Aceh ada satu, di Banten ada satu, di Kalimantan Timur ada satu, dan beberapa wilayah lain," sebut Budi.
Tak hanya itu, ia bahkan membenarkan adanya aliran dana ke desa-desa tersebut.
Namun, dia juga mempersilakan pihak-pihak yang bermain dalam penyelewengan dana ini diproses hukum.
Lihat video selengkapnya mulai dari menit ke 0.26
Sebelumnya diberitakan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut adanya beberapa desa baru yang sengaja dibentuk agar mendapat kucuran dana desa.
Berdasarkan laporan yang ia terima, sejumlah desa baru tersebut tidak berpenduduk.
"Kami mendengar beberapa masukan karena adanya transfer ajeg dari APBN sehingga sekarang muncul desa-desa baru yang bahkan tidak ada penduduknya, hanya untuk bisa mendapatkan (dana desa)," ujar Sri Mulyani, seperti yang dikutip dari Kompas.com, Kamis (7/11/2019).
Sri Mulyani menyampaikan hal ini saat berada dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI, Senin (4/11/2019).
Keberadaan aliran uang dana desa yang rutin dikucurkan ini, menurut Sri Mulyani, membuat pihak-pihak tidak bertanggung jawab memanfaatkan momentum dengan membentuk desa baru.
Sementara itu, masalah ini juga sampai ke telinga Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Jokowi memerintahkan pihaknya untuk mengusut tuntas kasus ini.
"Kami kejar agar yang namanya desa-desa tadi diperkirakan, diduga, itu fiktif, ketemu, ketangkep," kata Jokowi kepada wartawan seusai pembukaan acara "Konstruksi Indonesia 2019" di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (6/11/2019).
Jokowi menilai ada oknum yang bermain-main dengan menciptakan desa fiktif.
Sebab, Indonesia adalah negara besar yang memiliki 74.800 desa.
"Manajemen mengelola desa sebanyak itu tidak mudah. Tetapi, kalau informasi benar ada desa siluman itu, misalnya dipakai plangnya saja, tapi desanya enggak, bisa saja terjadi," kata Jokowi.
"Karena dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, sebuah pengelolaan yang tidak mudah," sambung dia.
Laporan tentang adanya desa fiktif juga berasal dari Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Kasus ini dalam penyelidikan Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra).
Dari 56 desa yang dilaporkan fiktif, petugas melakukan pengecekkan fisik di 23 desa yang tidak terdata di Kemendagri.
Hasilnya ditemukan dua desa yang tidak memiliki penduduk.
Sejauh ini, polisi sudah memeriksa 57 saksi terkait kasus ini.
Hingga kini, Polda Sultra belum menetapkan tersangka terkait kasus ini.
Pihaknya masih menunggu hasil cek fisik dari saksi ahli, dan juga hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara dari Badan Pengawasan keuangan dan Pembangunan (BPKP) perwakilan Sultra.
“Masih tunggu hasil audit BPKP Perwakilan Sultra, setelah itu, ada itu, baru bisa penetapan tersangka,” terang dia. Dolfie menambahkan, dugaan kasus tindak pidana korupsi dengan adanya pembentukan desa yang tidak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen yang tidak sah, yakni salah satunya diduga Perda nomor 7 tahun 2011.
• Wakil Bupati Konawe Beri Klarifikasi soal Dugaan Desa Fiktif di Wilayahnya: Tidak Ada Kucuran Dana
Sementara itu, dikutip dari Kompas.com, Jumat (8/11/2019), Wakil Bupati Konawe Gusti Topan Sabara pun meluruskan terkait desa fiktif di daerahnya.
Ia mengatakan desa-desa tersebut disebut fiktif karena ada beberapa hal.
Pertama, adalah Desa Uepai, Desa Uepai tercantum karena human error, ada kesamaan nama antara Desa Uepai dan Kelurahan Uepai.
Gusti menyebut daerah tersebut tidak dapat menerima dana desa karena Uepai diklasifikasikan sebagai kelurahan, sehingga tidak boleh mendapatkan dana desa.
Belakangan, wilayah Uepai telah naik statusnya menjadi kecamatan.
Kedua, Desa Morehe, Desa Morehe merupakan imbas dari pemekaran Kolaka Timur.
Sehingga wilayahnya masuk dalam koordinat Kolaka Timur.
Wilayah Desa Morehe disebut Gusti tidak jelas, karena berada dalam kawasan hutan lindung.
Selain itu, penduduk Desa Morehe hidup secara nomaden atau berpindah-pindah.
Lalu yang ketiga ada Ulu Meraka.
Wakil Bupati Konawe Gusli Topan Sabara mengatakan, Desa Ulu Meraka tak lagi ada karena desa ini sama dengan nama desa yang ada di Kecamatan Onembute.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Camat Lambuya Jasmin.
Jasmin menyampaikan, Desa Ulu Meraka dulunya berada di Kecamatan Lambuya.
Namun, kini nama Ulu Meraka terdaftar sebagai nama desa di Kecamatan Onembute, bukan lagi di Lambuya.
“Dulu masih bergabung kecamatan di Kecamatan Induk Lambuya, Puriala, dan Onembute. Memang masih ada Desa Ulu Meraka, tapi ketika mekar ini dua kecamatan, Puriala dan Onembute. Desa Ulu Meraka sudah ada di Onembute," ujar Jasmin.
Gusli Topan mengklaim, pihak tidak memberikan dana desa sejak 2015 kepada tiga wilayah tersebut.
Ia menyebut dana sebesar Rp 5,8 miliar itu tidak dicairkan, dan berada dalam kas daerah.
(TribunWow.com/Fransisca Mawaski)