Bocah Tewas Disiksa Pasangan Sejenis
Ternyata Pelaku LGBT yang Aniaya Bocah 6 Tahun hingga Tewas Juga Ancam Bunuh Saksi jika Mengadu
Susanti atau SA (23) tak hanya tega menyiksa bocah berusia 6 tahun, PT hingga tewas namun juga mengancam akan membunuh MS (17).
Penulis: Roifah Dzatu Azma
Editor: Ananda Putri Octaviani
TRIBUNWOW.COM - Susanti atau SA (23) tak hanya tega menyiksa bocah berusia 6 tahun, PT hingga tewas namun juga mengancam akan membunuh MS (17).
Diketahui, bocah malang tersebut mendapatkan penganiayaan hingga meregang nyawa seusai 2 hari koma.
Sedangkan SA merupakan pasangan sesama jenis MS (17) yang juga tante dari bocah 6 tahun tersebut.

• Kronologi Lengkap Bocah 6 Tahun Disiksa hingga Tewas oleh Pasangan Sejenis, Awalnya Diasuh ke Tante
Dalam pengakuan pelaku, ia telah menganiaya korban selama satu minggu dengan alasan keponakan kekasihnya itu nakal.
Saat itu MS sebagai saksi juga mengetahui perlakuan pelaku kepada korban.
Ia hendak melaporkannya kepada polisi, namun diancam oleh pelaku.
Dikutip TribunWow.com dari Kompas tv, Selasa (1/10/2019), hal ini diungkapkan SA yang tengah mengenakan baju tahanan.
"Kalau misalnya dia bercerita saya bakal meninggalkan dan membunuh si saksi, tantenya," kata SA di kantor polisi.
SA juga sempat mengaku merupakan kekasih dari MS.
"Pacaran, ya," paparnya.
Sedangkan ia juga mengancam korban jika menangis.
"Karena dia takut air, jadi kalau misalnya dia menangis atau mengadu, saya lempar dia ke air sungai," ungkap SA di kantor polisi.

Hingga pada Senin (30/9/2019) pelaku mengaku membanting tubuh korban ke lantai dan mengakibatkan luka fatal.
MS dan SA lantas membawa korban ke Puskesmas Rawat Inap di Kelurahan Bentuas, Kecamatan Palaran, Samarinda.
PT kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Abdul Wahab Syahranie Samarinda, Kalimantan Timur.
Kondisi korban saat dibawa oleh pelaku ke rumah sakit dijelaskan oleh Humas Rumah Sakit Abdul Wahab, Syahranie Arysia Andhina.
Ia mengatakan korban dibawa dalam keadaan koma dan muntah-muntah serta kejang.
"Datang itu dalam keadaan koma, ada muntah dan juga kejang. Kemudian setelah kita lakukan pemeriksaan, Didapatkan ada pembekuan darah di kepala," ungkap Syahranie.
Hingga dilakukan perawatan intensif selama dua hari, dikutip TribunWow.com dari Kompas.com, Kamis (3/10/2019).
Langkah untuk menyelamatkan korban juga dilakukan dokter dengan melakukan tindakan bedah otak (kraniotomi) dan memasang ventilator di ruang PICU.
"Operasi di kepala oleh spesialis bedah saraf. Kita ambil darah yang mengalami pembekuan di kepalanya," jelas Syahranie kembali.
• Pengakuan Pelaku LGBT yang Siksa Bocah 6 Tahun hingga Tewas: Saya Lempar Dia ke Air Sungai
Namun pada Rabu (2/10/2019), kondisi korban terus menurun.
Bahkan empat orang dokter menyebutkan korban mengalami pembekuan darah di bagian kepala sehingga mematikan batang otak dan membuat otak tidak berfungsi.
Pembekuan darah diduga karena benturan keras benda tumpul.
Hal itu dijelaskan oleh Humas Rumah Sakit Abdul Wahab Syahranie Arysia Andhina.
Menurut pemeriksaan korban mengalami benturan yang menyebabkan pembekuan di kepala.
"Kondisinya sudah kritis sejak kami terima dari Puskesmas. Ada cedera kepala berat diduga akibat benturan yang menyebabkan terjadinya pembekuan darah di kepala," jelasnya.
"Ada luka lecet juga. Tapi, hampir sebadanan lebam-lebam," ungkapnya.
Dokter menuturkan otak korban tak lagi berfungsi.

Korban lantas meninggal dunia sekitar pukul 16.00 Wita, Rabu (2/10/2019) di ruang PICU.
"Korban cedera kepala berat. Itu yang menyebabkan korban meninggal dunia," sebut Syahranie.
Sebelumnya, saat pihak RS melihat ada luka di sejumlah tubuh korban, pihak RS segera melaporkan hal ini ke Polsek Sangasanga.
Kapolsek Sanga Sanga Iptu Muhammad Afnan menjelaskan kronologinya.
Ia mengatakan saat itu, pada Senin (30/9/2019) ada laporan dari Rumah Sakit Abdul Wahab Syahranie Samarinda, Kalimantan Timur.
RS mencurigai kondisi seorang anak yang mendapatkan sejumlah luka lebam hingga pendaraahan di otak.
"Jadi berawal dari laporan pihak rumah sakit bahwa diduga ada seorang anak di bawah umur menajdi korban pelaku tindak pidana si penganiayaan," ungkap Afnan saat ditemui di Polsek Sangasanga.
Hingga kemudian polisi melakukan serangkaian penyelidikan.
Afnan juga mengatakan saat korban diperiksa oleh tim medis, pelaku yang mulanya ikut mendamping korban di rumah sakit justru kabur.
• Beri Rp 2 Ribu, Oknum Kepsek SD di NTT Suruh Bocah Pijat Kaki hingga Cabuli Korban di Halaman Rumah
"Dia (pelaku) pergi tidak bertanggung jawab hingga me-non aktifkan handphone miliknya," jelas Afnan, dikutip TribunWow.com dari Kompas.com, Rabu (2/10/2019).
Pelaku ternyata melarikan diri.
Polisi kemudian bekerjasama dengan keluarga pelaku agar dapat membantu menangkapnya.
"Tersangka sempat melarikan diri, jadi baru tadi pagi kita jemput karena kita koordinasi dengan keluarga akhirnya keluarga menyerahkan," papar Afnan.
Mengenai penyelidikan terhadap tubuh korban, Afnan mengatakan keluarga korban menolak dilakukan otopsi.
"Yang jelas tadi sudah saya sampaikan kepada orangtua kandung korban, yang bersangkutan tidak berkenan alasannya 'Masih anak-anak Pak, tidak sampai hati kalau harus dilakukan otopsi'," ujar Afnan.
(TribunWow.com/ Roifah Dzatu Azmah)