Breaking News:

Gerakan 30 September

Kisah Amelia Yani, Putri Jenderal Achmad Yani yang Berjuang Obati Luka Batin G30S selama 20 Tahun

Putri Pahlawan Revolusi, Jenderal Achmad Yani, Amelia Achmad Yani, pernah menceritakan kisahnya dalam mengobati luka batin karena memori G30S 1965.

Editor: Mohamad Yoenus
Kolase/Kompas.com dan Wikimedia/Tribunnewswiki
Amelia Yani, putri dari Pahlawan Revolusi, Jenderal Achmad Yani yang terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September 

TRIBUNWOW.COM - Putri Pahlawan Revolusi, Jenderal Achmad Yani, Amelia Achmad Yani, pernah menceritakan kisahnya dalam mengobati luka batin karena memori peristiwa pembunuhan ayahnya oleh kelompok yang mengatasnamakan Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965.

Kisah yang dibagikan dua tahun lalu ini mengungkapkan bahwa Amelia Yani sempat tinggal lebih dari 20 tahun di sebuah desa kecil untuk menepi dari keramaian kota.

Menurutnya, di desa tersebut, ia dapat berdamai dengan keadaan.

Perjalanan batinnya semakin kaya ketika ia mulai bertemu dengan para anggota keluarga keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berseberangan dengan keluarganya.

Dilansir oleh Kompas.com 10 Oktober 2017 silam, melalui wawancara khusus wartawan Widianti Kamil, Amelia Yani sedang berada di Sarajevo, dalam tugasnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Bosnia-Herzegovina.

Amelia Achmad Yani adalah anak ketiga dari delapan putri dan putra almarhum Jenderal Achmad Yani dan almarhumah Yayu Rulia Sutowiryo.

Kisah Keluarga DN Aidit Pasca Tragedi G30S

Jenderal Achmad Yani adalah seorang pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa pada tanggal 30 September - 1 Oktober 1965 oleh kelompok yang mengatasnamakan Gerakan 30 September/G30S di Jakarta.

Ingatannya terhadap peristiwa G30S selalu muncul sebagai peristiwa kelam saat memasuki bulan September.

"Seperti sebuah potret yang berjalan," kata Amelia.

Dituturkan olehnya bahwa ia selalu mengadakan tahlilan di mana ia sedang berada.

"Dan, saya sesuaikan, kalau di sini (di Wisma Indonesia), di Sarajevo (Bosnia-Herzegovina), saya sesuaikan tanggalnya dengan di Jakarta, jamnya juga bersamaan.

Kodam (di Jakarta) membuat tahlilan setelah magrib, di sini jam satu (13.00 waktu Sarajevo),". kata Amelia.

Ditanya perihal buku yang ditulis tentang ayahnya dan peristiwa G30S, Amelia menuturkan bahwa tujuannya adalah ingin agar generasi muda belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya (terutama peristiwa G30S)

"Saya pikir tadinya, anak muda itu banyak yang terkait hal-hal yang negatif. Saya pikir seperti itu,"

"Ternyata, banyak sekali pemuda Indonesia, mahasiswa, yang sangat cinta, untuk mengetahui sejarah bangsa sendiri. Begitu mereka menghubungi saya lewat Facebook, saya menulis tiap malam, untuk mereka, seperti apa pengorbanan itu."

"Saya salah satu anak Pak Yani, yang mungkin, apa ya, merasakan betul secara hati nurani saya. ketika ibu saya selalu bilang begini, Kenapa bapakmu dibunuh, salah apa dia?"

"Setiap hari pembicaraannya itu terus, seperti tidak ada jawaban. Dan, kemudian, saya mencari jawaban itu dengan menulis. Saya mulai mewawancarai Pak Nasution (AH Nasution), Pak Sarwo Edhie, Pak Soemitro,"

Pengakuan eks Cakrabirawa yang Terlibat G30S, Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal!

Semua saya wawancara. Saya tanya, seperti apa ayah saya sebetulnya, lalu kenapa harus dibunuh. Di situ saya (juga) mulai membuka agenda bapak saya. Di situ ada beliau mengatakan, "Kenapa saya jadi prajurit?" ungkap Amelia.

Menurutnya, menulis adalah bagian dari rasa cinta tanah air.

"Karena saya patriot, karena saya cinta Tanah Air." Itu message, itu penting sekali. Pesan dari orangtua saya itu penting sekali untuk generasi muda. "Kenapa saya belajar? Untuk jadi apa? Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot." Tidak harus jadi prajurit, lho. Tapi, semangat itu ada," kata Amelia

Amelia juga menuturkan bahwa ia sempat bercucuran air mata saat menulis buku tersebut.

Rasa trauma yang ia alami membangun visualisasi seolah sang ayah datang kembali dan merasa dekat dengannya.

"Seolah-olah saya dibimbing untuk menulis,"

"Kan nulisnya bukan siang hari, saya nulisnya malam hari, jam tiga pagi, jam satu malam, ketika sepi, tidak ada siapa-siapa,"

"Saya seperti ada yang mendorong untuk menulis dan jawaban itu seperti ada di situ," ujarnya.

Pengakuan Penjemput Jend AH Nasution hingga Cerita Letkol Untung Temui Soeharto Sebelum G30S

Dalam mengobati luka batinnya, Amelia Yani sempat pindah ke sebuah dusun di daerah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada tahun 1998.

Tinggal di desa selama lebih dari 20 tahun membuatnya dapat menyembuhkan dirinya dari rasa dendam, amarah, dan benci.

"Tapi, kemudian, saya pindah ke desa, saya pindah ke sebuah dusun, dusun Bawuk namanya (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1988). Enggak ada listrik,"

"Tinggal di desa itulah yang menyembuhkan saya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dengki. Itu hilang. Di desa, itu hilang. Lebih dari 20 tahun saya di sana. Jadi hampir seperempat abad, saya ada di desa. Ketika itu saya menyekolahkan (mulai SMA) Dimas (anak tunggal) ke Australia,"

"Saya sendiri di desa. Bangun pagi, jam enam saya sudah di sawah. Saya punya sawah, saya punya kolam ikan gurame, punya pohon buah-buahan, mangga, saya punya pepaya, pisang. Semua, semua saya punya, punya ayam, saya jualan telur ayam, tapi rugi terus, enggak pernah untung, enggak tahu kenapa,"

"Itulah belajar. Saya banyak bergaul dengan petani. Saya ke Bukit Menoreh. Kalau orang ingat (buku seri) Api di Bukit Menoreh, saya sudah sampai di ujungnya, di Puncak Suryoloyo itu. Waktu malam 1 Suro, mereka semua (warga) ke puncak gunung. Dan, saya sudah di sana, saya sudah ke mana-mana," ungkap Amelia

Setelah 20 tahun berlalu, Amelia dan anaknya kemudian pindah kembali ke Jakarta.

"Dan setelah tinggal di desa 20 tahun lebih sedikit, anak saya manggil. Katanya, enggak cocok di situ. Jadi, saya meninggalkan dusun, balik lagi ke kota, Jakarta," kata Amelia

Amelia juga mengaku pernah ikut serta dalam kontestasi politik di daerah Purworejo, Jawa Tengah. Namun demikian, ia gagal dan kembali pada aktivitas menulisnya.

"Di situ mulai satu jalan yang lain lagi. Partai politik (parpol), semua mulai masuk. Mau jadi bupati (Purworejo, Jawa Tengah), ndak berhasil. Sudah menang, tapi dikalahkan dengan drastis,"

"Uang habis. Pokoknya, mengalami semuanya, yang membuat saya menjadi matang, mungkin. Lalu, menulis lagi, menulis lagi,"

"Ketika saya sendirian, saya menulis lagi, saya menulis lagi."

Film G30S/PKI Akan Dibuat Versi Milenial, Putri AH Nasution Tak Setuju

Amelia Membincang Anak-Anak dari Pihak Seberang.

Ketika ditanya apakah dirinya mengetahui bahwa anak-anak dari pihak yang berseberangan dengan keluarganya, yaitu pihak pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI), Amelia menuturkan bahwa ia sudah sering bertemu dengan anak dari pimpinan maupun beberapa orang dari peristiwa Gerakan 30 September.

"Keluarga saya delapan bersaudara. Adik saya, Mas Untung, Mas Edi, mungkin belum bisa menerima (Achmad Yani menjadi korban gugur dalam peristiwa G30S PKI). Saya terbawa situasi di mana tiba-tiba ada teman-teman datang ngajakin saya ketemu anak (Brigadir Jenderal) Soepardjo (Wakil Ketua Dewan Revolusi Indonesia), anak DN Aidit, anak (Marsekal Madya) Omar Dhani, yang dalam Gerakan 30 September ada di seberang sana. Kami di sebelah sini. In a way, dalam hal tertentu, saya diuntungkan. Kan saya anak pahlawan revolusi,"

Amelia juga menuturkan bagaimana anak-anak dari pihak PKI sempat dituduh anak pengkhianat, serta dituduh juga sebagai PKI.

Di momen ini Amelia mengaku merasa mengerti bahwa anak pelaku bukanlah pelaku itu sendiri

"(Di lain pihak) mereka mengatakan, "Kami (anak dari orangtua yang anggota PKI) anak pengkhianat, (selalu disebut), 'Kamu PKI, kamu PKI',"

"Mereka menceritakan kepada saya bagaimana sulitnya menjadi anak yang orangtuanya pengkhianat. Di situ saya mulai bisa mengerti, karena mereka (anak pelaku) bukan pelaku. Lalu saya pergi ke Pulau Buru (Maluku), saya melihat seberapa kehidupan di sana. Pulau Buru sudah menjadi lumbung padi di Maluku, kan orang Jawa banyak dipindah ke sana. Di Pulau Buru sebenarnya dulu memang sulit,"

"Siapa sih yang enggak sulit? Semua mengalami kesulitan,"

"Bayangkan, inflasi sampai 600 persen. Kita miskin dan miskin, Tapi, kita miskin lagi kemudian, tahun 1998. Jadi, saya ingin bangsa ini belajar dari semua kejadian yang pernah kita alami. Kalau mereka (generasi sesudah itu) tidak mengalami, kita tulis, supaya mereka tahu dalam sejarah,"

"Di situ saya mulai mengenal mereka. Memang, sebetulnya, kalau bertemu (dengan para keturunan dari pihak yang berseberangan), ketawa-ketawa ya,"

"Tapi, kalau (ada dari) mereka bilang, 'Lubang Buaya itu enggak ada, sejarah itu bohong semua', itu kami marah. Jadi, kapan kita mau damai? Tapi, kalau yang di Pulau Buru, (mula-mula) mereka takut melihat saya. Saya datang, (mereka) takut,

Orangtua mereka juga melihat. Tapi, ketika saya bilang, "Saya datang ke sini kan saya juga anak korban," langsung mereka keluar (rumah) semua, (suguhan minuman) teh keluar, tadinya mereka enggak mau keluar. Terus, saya lihat, anak-anak itu tidak berbuat apa-apa. Ada Karang Taruna, enggak punya apa-apa,"

"Lalu, saya belikan organ (keyboard) dan mereka mulai ngamen (main musik dan menyanyi), punya uang, terus cerita sama saya. Itu membuat saya senang." jelasnya.

Komentar Amelia Soal Rekonsiliasi

Pertemuannya dengan anak-anak dari pihak yang berseberangan, membuat Amelia semangat agar rekonsiliasi segera terwujud.

Menurutnya, rekonsiliasi dapat terwujud antarmanusia, antarindividu, dan tidak adanya campur tangan pemerintah.

"Itu yang harus dibuat secara nasional, bahwa rekonsiliasi bisa terwujud antarmanusia, antarindividu. Kami siap (untuk) rekonsiliasi, tapi tidak dengan campur tangan pemerintah. Kalau ada campur tangan pemeritah, malah ora dadi (tak jadi)." ujar Amelia

Amelia mengaku bahwa dirinya bisa menerima hal itu.

"Saya bisa menerima itu. Entah orang lain berpendapat seperti apa. Kalau saya, bisa. Mereka mengalami lebih parah. Jadi, waktu kami (Amelia dengan salah seorang anak tokoh Dewan Revolusi Indonesia) bertemu untuk pertama kali, lain ya sorot matanya,"

"Terus dia bilang, "Saya kepengin ketemu sama Mbak Amelia," saya dengerin ceritanya. Saya pikir, kasihan juga. Tapi, saya mengalami (sebagai anak yang ayahnya menjadi korban)," jelasnya.

"Tapi, bapak kamu (tokoh Dewan Revolusi Indonesia itu) yang melakukan. Itulah yang terjadi,"

"Dan, dia menangis, bisa bercerita kepada saya. Waktu ayahnya tertangkap, dua jam sebelum ditembak mati, boleh ketemu keluarganya. Terus, dikubur di sebuah tempat, di hutan, hanya dikasih kotak semen (makamnya disemen berbentuk segi empat) dan tanpa nama,"

"Jadi, anak-anaknya terus mencari, kira-kira di sebelah mana (makam ayah mereka),"

"Apa pun, darah itu kan darah orangtuanya ya,"

"Di situ saya merasa bahwa sebagai anak pahlawan, orang di mana pun, parpol, menyambut saya seperti kedatangan Pak Yani gitu. (Padahal) Saya cuma anaknya. Tapi, seperti itulah keadaan kita." ungkap Amelia

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)

Artikel ini telah tayang di Tribunnewswiki.com dengan judul 20 Tahun Mengobati Luka Batin G30S, Inilah Kisah Amelia Yani, Putri Jenderal Achmad Yani

Sumber: TribunnewsWiki
Tags:
Gerakan 30 SeptemberJenderal Achmad YaniLubang BuayaPahlawan Revolusi
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved