Terkini Daerah
Viral Wanita Berbobot 350 Kg di Kalteng, Dinas Kesehatan Setempat Sebut Akibat Penumpukan Lemak
Titi Wati (37) mendapat julukan sebagai wanita tergemuk di Kalteng. Titi diketahui memiliki bobot mecapai 350 kg
Penulis: Nirmala Kurnianingrum
Editor: Wulan Kurnia Putri
TRIBUNWOW.COM - Seorang wanita di Palangkaraya, Kalimantan Tengah menjadi sorotan karena mengalami obesitas, bobot tubuhnya yang mencapai 350 kilogram.
Wanita tersebut ialah Titi Wati (37), warga Jalan G Obos XXV Palangkaraya.
Karena berat badannya yang mencapai 350 Kg, Titi Wati bahkan mendapat julukan sebagai wanita tergemuk di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).
Obesitas yang dialami Titi mendapat perhatian perhatian dari Dinas Kesehatan Kalteng.
Dinas Kesehatan Kalteng mendatangi rumah Titi untuk memeriksa kondisi kesehatan wanita tersebut.
Dari hasil pemeriksaan, dokter menyebutkan Titi alias Sintia sehat, hanya perlu mengontrol pola makan.
Kepala Dinas Kalteng, Suyuti menjelaskan, obesitas yang dialami Titi merupakan akibat dari penumpukan lemak karena pola makan yang tidak sehat.
"Kami akan kontrol terus kondisi badannya sehingga diharapkan berat badannya bisa menurun secara perlahan, kami akan rutin datang menjenguk dan memberikan imbauan kepadanya," jelas Suyuti seperti dikutip TribunWow.com dari BanjarmasinPost.co.id, Selasa (8/1/2019) .
• 6 Tanda Seseorang Menuju Obesitas yang Perlu Diwaspadai
Akibat obesitas yang dideritanya, Titi hanya bisa berbaring dan tengkurap di kasur.
Aktivitas lain yang bisa dilakukan hanya menyanyi karaoke di kasur.
Untuk mandi juga hanya bisa dilakukan di tempat terbaringnya tersebut.
Titi menceritakan dirinya mengalami obesitas sejak berusia 27 tahun.
Ia menyebutkan lima tahun lalu, terakhir ia menimbang, berat badannya masih 167 kg.
Titi juga mengaku beratnya bisa mencapai 350 kg karena ia doyan ngemil.
"Makan nasi normal saja tiga kali sehari, tapi ngemilnya memang sangat sering, apalagi ketika sedang pusing, makin banyak makannya," ujarnya.
Diberitakan oleh BanjarmasinPost.co.id, Selasa (8/1/2109), Sintia mengaku kaget, ngemilnya yang tidak terkontrol membuat badannya melebar, pola makan yang hantam kromo terutama ngemil dan minum es inilah yang membuat tubuhnya berubah seperti wanita raksasa dengan bobot 350 kilogram.
"Ketika ngemil saya memang susah ngontrolnya, pengennya memamah biak terus," ujarnya, Selasa (8/1/2019).
Obesitas membuatnya menjadi semakin sulit untuk melakukan aktifitas meskipun dia ingin tubuhnya normal kembali seperti pada umumnya.
"Inilah yang bisa saya lakukan, hanya di rumah saja dan ga bisa bergerak jauh dari tempat ini," ujarnya.
Seluruh aktifitasnya hanya ditempat itu saja, seperti mandi yang dibantu anaknya atau suaminya, demikian juga tidur, melakukan aktifitas makan maupun minum, bercengkrama, mengibur diri hingga buang air besar maupun kecil di tempat itu menggunakan pospot dan alat lainnya
"Susah makanya bosan juga jadi seperti ini," ujarnya.
Sebelum viral berita obesitas yang dialami Titi Wati, seorang bocah asal Karawang, Jawa Barat bernama Arya Permana juga mengalami obesitas.
Dilansir oleh BangkaPos.com, Rabu (2/5/2018), Arya Permana, yang dinobatkan sebagai anak paling gemuk di dunia asal Karawang, Jawa Barat, berhasil menurunkan berat badannya hingga 83 kilogram.
Kisah Arya menekankan catatan pentingnya mencegah kegemukan pada anak.
Sosok Arya Permana, anak laki-laki asal Desa Cipurwasari, Karawang, saat ini amat jauh berbeda dibandingkan kondisinya satu tahun yang lalu.
Ketika itu, Arya tidak bisa banyak bergerak dan hanya bisa berbaring di lantai rumahnya lantaran memiliki bobot tubuh hingga 192 kilogram.
Media dari dalam dan luar negeri bahkan menyebut Arya sebagai anak paling gemuk sedunia.
Namun, kini berat Arya Permana sudah berkurang 83 kilogram menjadi tinggal 109 kilogram saja.
Penurunan ini sukses dilakukan Arya hanya dalam waktu 1 tahun.
Arya mengaku senang bisa bebas beraktivitas.
Semua aktivitas tersebut merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan Arya saat bobot tubuhnya masih 192 kilogram.
Ketika itu, bahkan untuk melakukan lebih dari 10 langkah saja ia sudah tidak mampu.
Arya mengatakan, penurunan drastis berat badannya ini terjadi sejak dia menjalani operasi Bariatrik pada April 2018.
“Berat saya turun drastis sejak operasi Bariatrik di RS Omni Alam Sutera, Tangerang. Lambung saya ‘dikecilin’ sejak itu nafsu makan saya berkurang dan saya makan enam sendok saja sudah kenyang,” Imbuh Arya, yang kini duduk di kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cipurwasari, Karawang.
• 6 Penyakit yang Disebabkan Minuman Soda, Diabetes hingga Obesitas
Hingga kini, Arya mengaku masih dalam pemantauan tim dokter yang mengharuskannya menjalani diet ketat dengan menghindari minuman manis dan mengonsumsi makanan sehat.
Arya bertekad untuk menurunkan berat badannya hingga di bawah 60 kg.
“Saya cuma dilarang minum yang manis-manis terutama minuman dalam kemasan dan harus rajin olahraga serta banyak makan buah-buahan,” tuturnya.
Dokter Samuel Oetoro, Spesialis Gizi Klinik dari MRCCC Siloam Hospitals, Jakarta, mengatakan, operasi bariatrik atau teknik operasi pengecilan dan bypass lambung memang menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi kasus severe obesity atau obesitas parah seperti dalam kasus Arya.
“Bobot tubuh Arya yang 192 kg itu memang sudah jadi indikasi perlu dilakukan operasi bariatrik. Sebab, metode yang lain sudah tidak bisa dilakukan, menahan asupan makanan sudah tidak bisa, berolahraga juga tidak akan banyak berpengaruh. Jadi memang harus dikecilkan lambungnya agar nafsu makannya bisa ditekan dan tidak perlu asupan makan yang banyak,” Kata dr Samuel Oetoro.
Meski efektif, dokter Samuel Oetoro mengingatkan disiplin untuk mengubah perilaku makan menjadi faktor yang sangat penting pasca melakukan operasi.
Obesitas anak meningkat
Kasus Arya mengingatkan betapa seriusnya masalah obesitas pada anak di Indonesia.
Apalagi, tidak lama berselang, diketahui juga ada anak yang menderita obesitas parah lainnya, yakni Rizki Rahmat Ramadhan dari Palembang, Sumatera Selatan, yang memiliki bobot tubuh 119 kilogram pada usia 10 tahun.
Data dari World Health Organization (WHO) pada 2013 mencatat, persentase obesitas anak di Indonesia termasuk yang tertinggi di ASEAN.
Data itu menyebutkan hampir 12 persen anak Indonesia mengalami obesitas.
Angka ini melonjak drastis dibandingkan data pada dekade 2000-an.
Pada tahun 2001, jumlah penderita obesitas anak di Indonesia hanya sebesar 2 persen, dan meningkat menjadi 5 persen pada 2004, dan melonjak tajam menjadi 11 persen pada 2007 lalu.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2013 juga menunjukan lonjakan penderita obesitas anak di Indonesia terjadi hampir di semua kelas sosial.
Dimana selisih persentase penderita obesitas pada keluarga kaya (15 persen dan keluarga miskin (12 persen) hanya 3 persen.
Dr Samuel Oetoro mengatakan tren peningkatan kasus obesitas pada anak dipicu oleh gaya hidup yang tidak sehat di dalam keluarga.
“Ini gara-gara pola hidup. Ekonomi meningkat, otomatis daya beli meningkat, kemampuan orang tua untuk membelikan makanan bagi anaknya juga turut meningkat, dan mal juga tambah banyak, restoran banyak dan mayoritas junk food, anak jadi tergoda.” ungkapnya.
Cegah anak kegemukan
Dr Samuel Oetoro menambahkan, meski saat sudah banyak metode yang bisa dilakukan untuk mengatasi obesitas, tetap saja pencegahan merupakan cara yang paling ampuh untuk mengatasinya. Ia menekankan pentingnya peran orangtua.
“Saya tekankan yang penting bagi anak-anak cegah jangan sampai dia kegemukan. Jangan biasakan anak makan berlebihan, kedua jangan makan atau minum yang manis berlebihan seperti soft drink, junk food, karena anak sangat mudah timbul ketagihan dan obesitas itu erat kaitannya dengan unsur adiksi atau kecanduan.”
Ia juga meminta masyarakat meninggalkan anggapan anak gemuk itu sehat atau menggemaskan.
“Anggapan yang seperti itu sudahlah tingalkan, jaman dulu waktu negara masih susah kekurangan, banyak orang kurang gizi sehingga melihat anak gemuk itu sehat. Zaman sekarang, gemuk atau kelebihan berat badan itu penyakit.”
Selain pada anak, jumlah kasus obesitas di kalangan warga dewasa juga meningkat.
Data pemantauan status Gizi Kementerian Kesehatan menunjukan pada tahun 2017 lalu, sebanyak 25,8 persen atau lebih dari seperempat warga Indonesia mengalami obesitas.
Data menunjukkan tingkat kemakmuran menjadi salah satu pemicu, selain faktor genetik yang sulit dihindari.
(TribunWow.com/ Nirmala)