Freeport Indonesia
Fadli Zon Imbau BPK dan KPK Awasi Transaksi Pembelian Saham Freeport: Ada yang Perlu Diselidiki
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengimbau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa transaksi pembelian saham Freeport
Penulis: Ananda Putri Octaviani
Editor: Lailatun Niqmah
TRIBUNWOW.COM - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menuliskan catatannya soal transaksi pembelian saham PT Freeport Indonesia.
Catatan itu dibagikan Fadli Zon di laman Twitter miliknya, @fadlizon, Kamis (3/1/2019).
Melalui kicauannya, Fadli Zon menyebutkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu mengawasi dan memeriksa transaksi pembelian saham Freeport.
Hal tersebut disampaikannya untuk mengantisipasi agar tidak terjadi lagi skandal-skandal besar yang terjadi jelang pemilu.
Fadli Zon lantas memaparkan dua permasalahan yang terjadi terkait divestasi saham Freeport.
• Pelantikan Ketua BNPB Ditunda, Fadli Zon: Ngatur Jadwal Presiden Aja Enggak Beres
Lebih lanjut, Fadli Zon menganggap dua permasalahan itu kemudian dibelokkan substansinya hingga kemudian dijadikan masalah politik.
Berikut kicauan lengkap Fadli Zon mengenai hal tersebut:
"Selamat sore tweeps, saya akan uraikan lima catatan atas transaksi pembelian saham freeport. Selamat menyimak.
1) @bpkri (Badan Pemeriksa Keuangan) n @KPK_RI (Komisi Pemberantasan Korupsi) perlu segera mengawasi dan memeriksa transaksi pembelian 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) oleh PT Inalum yg menelan biaya hingga US$3,85 miliar, atau sekitar Rp56,1 triliun.
2) Seharusnya, tak boleh ada lagi transaksi kolosal yg terjadi di ujung periode pemerintahan, agar kita tak mengulang modus skandal yg kerap terjadi menjelang pemilu.
3) Di periode transisi kekuasaan, yaitu saat-saat menjelang Pemilu dan Pilpres, mestinya tdk banyak keputusan-keputusan besar dan strategis yg dieksekusi, krn rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan di dalamnya.
4) Sudah cukup skandal Bank Bali, SKL (Surat Keterangan Lunas) BLBI, dan skandal besar lain tiap menjelang pemilu.
5) Untuk itu, @bpkri dan @KPK_RI sy kira perlu segera mengawasi serta memeriksa transaksi besar ini, apakah ‘clear’ dan ‘clean’ ataukah tidak.
Ada dua isu awal yang perlu diselidiki, yaitu apakah nilai transaksinya wajar, dan apakah timing-nya tepat.
• Capai 51% Saham Freeport, Jokowi: Tutup Tahun 2018 sebagai Bangsa Berdaulat atas Kekayaan Sendiri
6) Ketika kita bicara soal Freeport, sejak awal kebijakan pemerintah tidak konsisten dan transparan. Masalah kita kan awalnya ada dua.
7) Pertama, Freeport ini bnyk melanggar ketentuan UU n kontrak, mulai dr tdk memenuhi ketentuan divestasi saham, kewajiban membangun smelter, wanprestasi pembayaran royalti, kewajiban lain yg diatur dlm Kontrak Karya maupun dlm UU No. 4/2009 ttg Pertambangan Mineral dan Batubara.
8) Jadi, ada isu penegakan hukum di sini. Kedua, soal perpanjangan kontrak atau operasi, yaitu apakah Freeport akan diteruskan operasinya sesudah tahun 2021 ataukah tidak. Isu kedua ini adlh soal politik.
9) Jadi, menurut sy, masalah awalnya adlh dua hal itu. Tapi dalam perjalanannya ternyata terjadi pembelokan substansi, krn kedua masalah itu kemudian dijadikan masalah politik.
10) Menteri Luhut Panjaitan pernah menyatakan di @DPR_RI bahwa kontrak PTFI akan dibiarkan habis baru kemudian diurus. Tapi kenyataannya kan lain.
11) Kewajiban divestasi saham hingga 51 persen, yg merupakan tuntutan Kontrak Karya II dan juga UU No. 4/2009, yg semula merupakan persoalan hukum, akhirnya dilarikan menjadi persoalan politik krn digunakan sbg pintu masuk untuk memperpanjang operasi Freeport sebelum waktunya.
12) Kalau kita konsisten dgn UU, Freeport baru bs mengajukan perpanjangan pada 2019 ini. Tapi perundingan ini kelihatan basisnya bukan UU, melainkan hanya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri ESDM yg terus-menerus diotak-atik n disesuaikan untuk kepentingan Freeport.
13) Itu sebabnya sy heran, knp hari ini muncul framing seolah pembelian 51 persen saham Freeport yg menggunakan duit utangan itu dianggap sbg kemenangan perundingan pihak kita.
14) Padahal jelas-jelas Freeportlah yg memenangkan seluruh proses perundingan ini. Framing kemenangan tadi sy kira sangat membodohi.
• Fadli Zon: Pemerintah Sekarang Terlalu Banyak Klaim, Tapi Sebenarnya Menyembunyikan Banyak Persoalan
15) Kita perlu mendalami persoalan ini. Pasca-transaksi pembelian saham kemarin, menurut sy stdknya ada lima persoalan yg harus dijawab pemerintah. Pertama, basis legalitas perundingan tsb, knp ada pembelokan substansi dan lain sebagainya, yg tak sesuai dgn UU No. 4/2009.
16) Kedua, sesudah PT Inalum menjadi pemegang saham mayoritas PTFI, kita perlu mempertanyakan bgmn Pemerintah akan menagihkan kewajiban-kewajiban hukum Freeport yg seharusnya ditunaikan sebelum proses pembelian saham ini berlangsung?
17) Misalnya, soal kewajiban membangun smelter yg nilai investasinya mencapai US$2,6 miliar. Siapa yg akan membiayai? Apakah investasi pembangunan smelter itu, yg mestinya telah dilakukan Freeport sejak 2009 silam, jg akan dibiayai menggunakan uang US$3,85 miliar?
18) Siapa, misalnya, yg akan membayar denda Rp460 miliar yg harus dibayarkan Freeport karena telah menggunakan hutan lindung tanpa izin? Jangan lupa, denda itu wajib dilunasi dalam dua tahun ke depan.
19) Jadi, sangat menggelikan jika semua kewajiban tadi pada akhirnya justru harus dibayar oleh kita sendiri. Lalu, di mana klaim kemenangan yg kini sedang digembar-gemborkan Pemerintah?!
20) Ketiga, kita perlu mempertanyakan langkah Inalum membeli saham PTFI menggunakan global bond. Sebab, dlm aturan global bond, kita tak bisa melarang kalau Freeport MacMoran yg semula mnjd pemegang saham mayoritas PTFI ikut membeli global bond yg diterbitkan Inalum.
21) Masalahnya, jika global bond Inalum yang digunakan untuk membeli Freeport Indonesia juga dipegang oleh Freeport McMoran, bukankah ini hanya dagelan belaka?
22) Sy kira kita juga perlu memeriksa data pemegang global bond Inalum dan afiliasinya, untuk mengetahui apakah ada kongkalikong dalam transaksi ini atau tidak.
23) Keempat, masih terkait penerbitan global bond oleh PT Inalum, kita juga perlu mempertanyakan menggelembungnya utang BUMN dalam tiga tahun terakhir. Menurut sy utang BUMN ini adlh persoalan serius yg harus diawasi secara cermat.
24) Dengan penerbitan global bond sebesar US$4 miliar, PT Inalum kini memiliki kewajiban utang global yg besar sekali. Inalum diperkirakan harus membayar beban kupon sebesar Rp1,7 triliun setiap tahun. Ini bs menempatkan perusahaan tsb pada posisi berisiko.
25) Masalahnya, Inalum bukan satu-satunya BUMN yg harus menerbitkan surat utang global akibat beban penugasan yg sangat besar oleh pemerintah. Sebelumnya PT PLN (Perusahaan Listrik Negara) jg telah menjual global bond senilai US$5miliar.
26) PT Pertamina tahun ini telah menerbitkan global bond Rp11,2 triliun dari target US$4 miliar. Pada 2017 lalu, Jasa Marga jg telah melepas global bond berdenominasi rupiah senilai Rp4 triliun dgn kupon 7,5 persen.
27) Dalam catatan sy, antara 2016 hingga 2018, jumlah utang BUMN kita telah meningkat hingga 132,92 persen. 2016, utang BUMN tercatat Rp2.263 triliun, per September 2018 jumlahnya tembus Rp5.271 triliun. Artinya, dlm dua tahun terakhir utang BUMN kita melonjak Rp3.008 triliun.
• 9 Lembaga Survei Sebut Jokowi Ungguli Prabowo, Fadli Zon: Kalau Meleset, Segeralah Membubarkan Diri
28) Dari BUMN sektor non-keuangan, sektor ketenagalistrikan menyumbang utang sebesar Rp543 triliun, atau 28 persen dari total utang BUMN non-keuangan.
29) Kemudian BUMN sektor migas menyumbang utang sebesar Rp522 triliun (27%), sektor properti dan konstruksi Rp317 triliun (15%), sektor telekomunikasi Rp99 triliiun (5%), sektor transportasi Rp75 triliun (4%), dan sektor lain-lain Rp403 triliun (20%). Itu angka yg besar sekali.
30) Masalahnya, jumlah utang yg menggelembung itu berbanding terbalik dgn kinerja pendapatan BUMN. Dalam tiga tahun terakhir, pendapatan BUMN hanya naik Rp326 triliun.
31) Padahal, pada periode 2012-2014, saat utang BUMN ‘hanya’ naik Rp824 trilun, total pendapatan BUMN pada periode itu mencapai Rp5.393 triliun. Artinya, utang baru BUMN sebenarnya tdk produktif.
32) Pada saat bersamaan, kerugian BUMN tercatat terus meningkat. Sy mencatat, memasuki September 2018 kinerja BUMN besar justru kian memburuk.
33) Hingga kuartal III-2018, PLN, misalnya, telah menderita kerugian hingga Rp18,48 triliun. Padahal, periode yg sama tahun lalu PLN masih mengantongi laba bersih Rp3,05 triliun. Total kerugian BUMN-BUMN besar itu kini mencpai Rp26,95 triliun.
34) Angka-angka tadi membuktikan penugasan pembangunan infrastruktur atau keperluan pencitraan yg selama ini diberikan oleh pemerintah terbukti membebani keuangan BUMN. Masalahnya, sejauh ini kita tak pernah melihat ada mitigasi risiko, padahal kondisinya cukup mengkhawatirkan.
35) Dan terakhir, kelima, untuk transaksi yang melibatkan angka puluhan triliun semacam ini, menurut saya, BPK dan KPK harus ikut memeriksa.
36) Jangan lupa, transaksi besar ini terjadi di periode transisi kekuasaan. Potensi moral hazard-nya sangat tinggi. Jangan sampai ada tradisi transaksi besar di setiap periode menjelang Pemilu.
37) Itulah lima catatan menyikapi transaksi pembelian 51,23 persen saham Freeport. Sy sama sekali tdk mencium bau kemenangan atau nasionalisme dari transaksi tsb. Itu justru adlh transaksi yg ruwet, menyimpan aroma masalah, dan menyembunyikan banyak sekali risiko," tulis Fadli Zon.
• Fadli Zon Kritisi Isu yang Dianggap Mengancam Kredibilitas Pelaksanaan Pemilu 2019
Sementara itu, diberitakan Kompas.com, Kamis (27/12/2018), terkait transaksi divestasi saham ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan bahwa seluruh perundingan dengan PT Freeport Indonesia berjalan dengan transparan dan apa adanya.
"Tidak ada perundingan melalui pintu belakang. Para menteri bersama-sama menghadapi perundingan dan saling menunjang dan membantu," tulis Sri Mulyani dalam akun Facebook pribadinya, Jakarta, Kamis (28/12/2018).
Sri Mulyani juga menegaskan bahwa Presiden Jokowi memberikan arahan pada para menteri untuk bekerja dengan satu tujuan, yaitu memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara, termasuk kepentingan rakyat Papua, tanpa melibatkan kepentingan pribadi atau kelompok.
Sri Mulyani mengatakan, perintah tersebut sangat jelas dan memberikan kekuatan moral dan politik kepada para menteri untuk bernegosiasi secara tegas, fokus, berwibawa, dan konsisten tanpa konflik kepentingan dan unsur korupsi. (TribunWow.com)