Pesawat Lion Air Jatuh
Kata Mantan Pilot Senior soal Dugaan Penyebab Jatuhnya Lion Air: Jam Terbang Pagi hingga Teknologi
Mantan pilot senior, Stephanus G.S mengutarakan analisa serta dugaannya tentang penyebab jatuhnya pesawat Lion Air JT 610.
Penulis: Ananda Putri Octaviani
Editor: Astini Mega Sari
TRIBUNWOW.COM - Mantan pilot senior, Stephanus G.S memberikan tanggapannya mengenai dugaan penyebab pesawat Lion Air JT 610 jatuh di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, Senin (29/10/2018) lalu.
Ia mengutarakan hal tersebut saat menjadi narasumber di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang tayang di TvOne, Selasa (30/10/2018)
Stephanus mengaku terkejut ketika mendengar pemberitaan jatuhnya pesawat tersebut.
Hal itu lantaran, kata Stephanus, pesawat tersebut masih sangat baru, baik secara fisik maupun model.
Ia pun membandingkan kecelakaan Lion Air JT 610 dengan beberapa kecelakaan pesawat lain yang terjadi selama 10 tahun terakhir.
Menurutnya, kecelakaan-kecelakaan tersebut berhubungan dengan waktu take off.
• Fakta-fakta Terbaru Penemuan Lokasi Keberadaan Kotak Hitam Lion Air JT 610
"Kalau kita flashback GA 210, (pukul) 6.50. Pagi juga. Kasus yang di tengah-tengah sebelum ini, kasus Air Asia, jam 5 pagi take off. Jadi ada apa ini? Kita perlu mencari kesalahan agar peristiwa ini tidak terulang kembali. Tapi yang pasti juga, kecelakaan terjadi di jam 06.00 pagi. Ini yang menyebabkan keprihatinan saya. Berarti ada missing link di sini," ujarnya.
Stephanus menduga kesadaran dan kewaspadaan kru pesawat berkurang karena mereka harus bangun dan siap pada pukul 3 dini hari.
"Kru bangun jam 3 pagi. Jadi kemungkinan, itu apakah situation awareness itu berkurang? Kalau berkurang mari kita sama-sama, kita perbaiki sistem itu. Minimum tidak terjadi kecelakaan di pagi hari," kata Stephanus.
Selain itu, menurut Stephanus, ada pula kemungkinan teknologi canggih yang dimiliki pesawat lah yang menyebabkan kecelakaan.
"Sekali ada sedikit kekeliruan (di sistem pesawat) ini akan menjadi masalah, karena apa? Justru si komputer itu akan membingungkan si pilot," ujarnya.
"Karena pesawat baru, si pilot jam terbang di pesawat itu juga baru. Pengenalan terhadap instrumen pun baru," tambahnya.
• Tim SAR Optimis Badan Pesawat Segera Ditemukan, Titik Lokasi Pencarian Lion Air JT 610 Dipersempit
Stephanus berpendapat, ketinggian terakhir Lion Air JT-610 yang tercatat berada di ketinggian 5000 kaki adalah sesuatu tidak wajar.
Ia juga menyebut kecepatan Lion Air JT-610 membuat dirinya berpikir bahwa ada sesuatu yang tidak normal dan harus segera diatasi.
"Tetapi ada sesuatu yang tidak masuk akal, yaitu kecepatannya. 340. Waduh, kuping saja kalau saya dengan speed (kecepatan) 400 (bisa) mendengung. Mestinya ada sesuatu yang tidak normal, yang sesegera mungkin harus diatasi. Baru naik baru turun," ujar Stephanus.
Mantan pilot itu kemudian mengatakan bahwa kejadian ini mirip dengan kasus kecelakaan Air Asia QZ 8501 yang jatuh pada Desember 2015 lalu.
"Hampir mirip dengan kejadian yang di Surabaya menuju Singapura itu. Air Asia terbang dengan naik atau climb. Di kita (dunia penerbangan) istilahnya climb. 11.000 apa 16.000 yang enggak masuk akal tetapi kejadian (kecelakaan). Jadi (ada) apa di sini?" kata Stephanus.
• Critical Eleven, 11 Menit Terpenting dalam Dunia Penerbangan
"Kemungkinan besar ada semacam kayak error di penerbangan yang pagi hari itu menurut saya. Jadi awareness-nya daripada pilot itu mungkin (menjadi penyebab), dan kalau lihat Air Asia kan terbukti bahwa ada sesuatu yang miss (luput). Di kita itu istilahnya kru koordinasi," kata Stephanus.
Stephanus menyarankan akan lebih baik jika penerbangan dilakukan pilot secara manual saja agar lebih aman bagi seluruh pihak.
"Di era digital dan komputer yang sangat canggih ini, tapi kalau ada apa-apa, udahlah, kita kalau terbang manual mungkin bisa lebih safe," pungkasnya.
(TribunWow.com/Ananda Putri Octaviani)