Breaking News:

Ketua MPR Kembali Jawab Pernyataan Menteri Keuangan soal Pidatonya yang Menyindir Utang Negara

Ketua MPR Zulkifli Hasan menjawab pernyataan Sri Mulyani soal pidatonya di sidang tahunan MPR RI yang menyindir soal cicilan utang pemerintah Rp 400 T

Penulis: Ananda Putri Octaviani
Editor: Wulan Kurnia Putri
Kolase Grafis TribunWow
Sri Mulyani dan Zulkifli Hasan 

TRIBUNWOW.COM - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan menjawab pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani soal pidatonya di sidang tahunan MPR RI yang menyindir soal cicilan utang pemerintah sebesar Rp 400 triliun.

"Yang menyesatkan itu Menteri Keuangan bukan ketua MPR. Ini MPR dan DPR lembaga politik, bukan lembaga sosial, ini lembaga politik. jadi ngomong politik, ini tempatnya," ucap Zulkifli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (20/8/2018), seperti yang TribunWow.com lansir dari Kompas.com.

Zulkifli kemudian membaca catatan yang sudah disiapkannya ketika memberi keterangan kepada wartawan.

Ia menjelaskan, menteri keuangan sendiri yang menyatakan jumlah utang jatuh tempo mencapai Rp 409 triliun.

Reaksi Andi Arief saat Dipanggil Bawaslu sebagai Saksi Dugaan Suap Mahar Politik Sandiaga Uno

"Ini pernyataan beliau lho, di APBN 2018. Akan memberatkan anggaran di tahun 2019 nanti," kata Zulkifli.

Menurut Zulkifli, menteri keuangan mengucapkan pembayaran hutang nantinya akan berat karena harus mencari sumber pembiayaan lain selain yang ada selama ini.

"Kalau rupiahnya melemah, akan nambah ini (besar hutangnya, red). Betul gak? Jadi kalau rupiah melemah, dollar menguat, nambah dia," ucapnya.

Zulkifli menjelaskan, Rizal Ramli di satu media pada Senin (20/8/2018), mempertanyakan kenapa baru bicara sekarang mengenai beratnya pembayaran utang.

"Kemarin-kemarin ke mana? Pemerintah tidak memiliki manajeman inovatif dalam membayar hutang sehingga sekarang kelimpungan ketika hutang jatuh tempo, kata Rizal Ramli," ucap Zulkifli sambil terus membaca catatannya.

"Ekonom nih, INDEF, Bima Yudhistira, juga sampaikan utang jatuh tempo adalah gabungan dari utang pemerintah sekarang dan sebelumnya. Tidak sepenuhnya warisan masa lalu," tambahnya.

Zulkifli menuturkan, Indef mengatakan utang pemerintah, misalnya, ORI 013, diterbitkan 26 oktober 2016 jatuh tempo Rp 19,6 triliun, dan ada pula SPN diterbitkan 15 Februari 2018.

"Kata Indef, pemerintah akan menambah utang baru sebesar Rp 35,9 triliun. Kalau benar itu ditambah tentu akan lebih berat dengan pertumbuhan ekonomi yang 5,3 ya. Jadi yang menyesatkan itu menteri keuangan, bukan ketua MPR," ucapnya.

Zulkifli juga menjelaskan soal utang yang ia sebut sebanyak 4x dari anggaran kesehatan.

"Anggaran 2018, anggaran kesehatan Rp 111 triliun, jadi kalau bayar utangnya Rp 409 triliun apa enggak empat kali? Empat kali kan?" kata Zulkifli.

"Hati-hati, jelaskan seterang-terangnya kepada pak Presiden, infrastruktur sudah ditunda, banyak. Padahal itu program andalan Pak Presiden Jokowi. Sudah dimoratorium. Artinya ada masalah kan? Ada 500 item tidak boleh impor, dikurangi. Itu tandanya ada masalah justru itu jangan menyesatkan, sampaikan apa adanya," ucapnya lagi.

Sri Mulyani Mengaku Pembayaran Utang Negara Cukup Berat, Rizal Ramli: Ngapain Bantah Selama Ini

Diberitakan sebelumnya, Sri Mulyani melalui akun Facebooknya, Senin (20/8/2018), menjawab pernyataan Zulkifli Hasan dalam sidang tahunan MPR pada Jumat (16/8/2018) dengan memberi judul Tanggapan atas Pernyataan Ketua MPR “Pembayaran Pokok Utang Pemerintah Tidak Wajar”.

Dalam postingan tersebut, Sri Mulyani menjelaskan tujuh poin, diantaranya mengenai hutang Rp 400 triliun bukan utang dimasa Joko Widodo (Jokowi) saja namun juga utang dari masa periode sebelum 2015.

Kemudian, mengenai dana desa dan kesehatan dengan utang pokok yang tidak berimbang, Sri Mulyani menjelaskan rasio tersebut sudah menurun dalam 9 tahun sebesar 19,4%.

Berikut isi jawaban Sri Mulyani:

Ketua MPR dalam pidato sidang tahunan MPR 16 Agustus 2018 menyampaikan bahwa besar pembayaran pokok utang Pemerintah yang jatuh tempo tahun 2018 sebesar Rp400 triliun yang 7 kali lebih besar dari Dana Desa dan 6 kali lebih besar dari anggaran kesehatan adalah tidak wajar.

Pernyataan tersebut selain bermuatan politis juga menyesatkan. Berikut penjelasannya:

1. Pembayaran pokok utang tahun 2018 sebesar Rp396 triliun, dihitung berdasarkan posisi utang per akhir Desember 2017. Dari jumlah tersebut 44% adalah utang yang dibuat pada periode sebelum 2015 (Sebelum Presiden Jokowi). Ketua MPR saat ini adalah bagian dari kabinet saat itu. Sementara itu, 31,5% pembayaran pokok utang adalah untuk instrumen SPN/SPN-S yang bertenor di bawah satu tahun yang merupakan instrumen untuk mengelola arus kas (cash management).

Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan?

2. Karena Ketua MPR menggunakan perbandingan, mari kita bandingkan jumlah pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan dan anggaran Dana Desa. Jumlah pembayaran pokok utang Indonesia tahun 2009 adalah Rp117,1 triliun, sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp25,6 triliun.

Jadi perbandingan pembayaran pokok utang dan anggaran kesehatan adalah 4,57 kali lipat. Pada tahun 2018, pembayaran pokok utang adalah Rp396 triliun sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp107,4 triliun, atau perbandingannya turun 3,68 kali. Artinya rasio yang baru ini sudah menurun dalam 9 tahun sebesar 19,4%.

Bahkan di tahun 2019 anggaran kesehatan meningkat menjadi Rp122 triliun atau sebesar 4,77 kali anggaran tahun 2009, dan rasionya mengalami penurunan jauh lebih besar lagi, yakni 26,7%. Di sini anggaran kesehatan tidak hanya yang dialokasikan ke Kementerian Kesehatan, tapi juga untuk program peningkatan kesehatan masyarakat lainnya, termasuk DAK Kesehatan dan Keluarga Berencana.

Mengapa pada saat Ketua MPR ada di kabinet dulu tidak pernah menyampaikan kekhawatiran kewajaran perbandingan pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan, padahal rasionya lebih tinggi dari sekarang? Jadi ukuran kewajaran yang disebut Ketua MPR sebenarnya apa?

Kenaikan anggaran kesehatan hingga lebih 4 kali lipat dari 2009 ke 2018 menunjukkan pemerintah Presiden Jokowi sangat memperhatikan dan memprioritaskan pada perbaikan kualitas sumber daya manusia.

3. Ketua MPR juga membandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa. Karena dana desa baru dimulai tahun 2015, jadi sebaiknya kita bandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa tahun 2015 yang besarnya 10,9 kali lipat.

Pada tahun 2018 rasio menurun 39,3% menjadi 6,6 kali, bahkan di tahun 2019 menurun lagi hampir setengahnya menjadi 5,7 kali. Artinya kenaikan dana desa jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan pembayaran pokok utang. Lagi-lagi tidak ada bukti dan ukuran mengenai kewajaran yang disebut Ketua MPR.

Jawab Zulkifli Hasan soal Utang Rp 400 T, Menkeu: Pernyataan Itu Bermuatan Politis, Menyesatkan

Jadi arahnya adalah menurun tajam, bukankah ini arah perbaikan? Mengapa membuat pernyataan ke rakyat di mimbar terhormat tanpa memberikan konteks yang benar? Bukankah tanggung jawab pemimpin negeri ini adalah memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat dengan memberikan data dan konteks yang benar.

4. Pemerintah terus melakukan pengelolaan utang dengan sangat hati-hati (pruden) dan terukur (akuntabel). Defisit APBN selalu dijaga di bawah 3% per PDB sesuai batas UU Keuangan Negara. Defisit APBN terus dijaga dari 2,59% per PDB tahun 2015, menjadi 2,49% tahun 2016, dan 2,51% tahun 2017.

Dan tahun 2018 diperkirakan 2,12%, serta tahun 2019 sesuai Pidato Presiden di depan DPR akan menurun menjadi 1,84%. Ini bukti tak terbantahkan bahwa pemerintah berhati-hati dan terus menjaga risiko keuangan negara secara profesional dan kredibel. Ini karena yang kami pertaruhkan adalah perekonomian dan kesejahteraan serta keselamatan rakyat Indonesia.

5. Defisit keseimbangan primer juga diupayakan menurun dan menuju ke arah surplus. Tahun 2015 defisit keseimbangan primer Rp142,5 triliun, menurun menjadi Rp129,3 triliun (2017) dan tahun 2018 menurun lagi menjadi defisit Rp64,8 triliun (outlook APBN 2018).

Tahun 2019 direncanakan defisit keseimbangan primer menurun lagi menjadi hanya Rp21,74 triliun, sekali lagi menunjukkan bukti kehati-hatian pemerintah dalam menjaga keuangan negara menghadapi situasi global yang sedang bergejolak. Apakah ini bukti ketidak-wajaran atau justru malah makin wajar dan hati-hati?

6. Selama tahun 2015-2018, pertumbuhan pembiayaan APBN melalui utang justru negatif, artinya penambahan utang terus diupayakan menurun seiring dengan menguatkan penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak. Bila tahun 2015 pertumbuhan pembiayaan utang adalah 49,0% (karena pemerintah melakukan pengamanan ekonomi dari tekanan jatuhnya harga minyak dan komoditas lainnya), tahun 2018 pertumbuhan pembiayaan utang justru menjadi negatif 9,7%!

Ini karena pemerintah bersungguh-sungguh untuk terus meningkatkan kemampuan APBN yang mandiri. Ini juga bukti lain bahwa pemerintah sangat berhati-hati dalam mengelola APBN dan kebijakan utang.

Hasilnya? Pemerintah mendapat perbaikan rating menjadi “investment grade” dari semua lembaga pemeringkat dunia sejak 2016. Jadi siapa yang lebih berkompeten menilai kebijakan fiskal dan utang pemerintah wajar atau tidak?

7. APBN adalah instrumen untuk mencapai cita-cita bernegara, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta makin mandiri. Komitmen dan kredibilitas pengelolan APBN ini sudah teruji oleh rekam jejak pemerintah selama ini. Mari cerdaskan rakyat dengan politik yang berbasis informasi yang benar dan akurat.

(TribunWow.com/Ananda Putri Octaviani)

Tags:
Zulkifli HasanRizal RamliSri Mulyani Indrawati
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved