INTEGRITY Beberkan Alasan Para Tokoh dari Sutradara hingga Akdemisi Gugat Presidential Threshold
Alasan tersebut di antaranya lantaran menghilangkan esensi pemilu hingga bertentangan dengan pasal lainnya.
Penulis: Lailatun Niqmah
Editor: Lailatun Niqmah
TRIBUNWOW.COM - Kuasa Hukum yang tergabung dalam INTEGRITY (Indrayana Centre for Government Constitution and Society) membeberkan alasan sejumlah tokoh menggugat Presidential Threshold.
Hal itu tampak dari siaran pers yang dilansir TribunWow.com dari laman website faisalbasri.com pada Kamis (21/6/2018).
Diketahui, sejumlah tokoh mulai dari akademisi, profesional, hingga suradara film mengajukan gugatan atas syarat ambang batas pencalonan presiden pada 13 Juni lalu.
Sementara itu, pada Kamis (21/6/2018) pihak kuasa hukum telah menyerahkan sejumlah dikomen fisik serta bukt-bukti permohonan tersebut.
12 pemohon itu di antaranya:
• Raja Juli Antoni Minta Fadli Zon Urus Prabowo yang Terancam Gagal Nyapres, Gerinda Angkat Bicara
1. M. Busyro Muqoddas (Mantan Ketua KPK dan Ketua KY)
2. M. Chatib Basri (Mantan Menteri Keuangan)
3. Faisal Basri (Akademisi)
4. Hadar N Gumay (Mantan Pimpinan KPU)
5. Bambang Widjojanto (Mantan Pimpinan KPK)
6. Rocky Gerung (Akademisi)
7. Robertus Robet (Akademisi)
8. Feri Amsari (Direktur Pusako Universitas Andalas)
9. Angga Dwimas Sasongko (Sutradara Film)
10. Dahnil Anzar Simanjuntak (Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah)
11. Titi Anggraini (Direktur Perludem)
12. Hasan Yahya (Profesional)
• Reaksi Sudjiwo Tedjo saat Disebut Abu-abu setelah Puji Aksi Alumni 212
Selain 12 tokoh tersebut, juga terdapat tiga tokoh ahli yang mendukung permohonan ini yaitu Refly Harun, Zainal Airifin Mochtar, dan Bivitri Susanti.
Sementara itu, berikut ini alasan mereka mengajukan permohonan.
"1. Pasal 222 UU 7/2017 mengatur “syarat” capres dan karenanya bertentangan dengan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan “tata cara”.
2. Pengaturan delegasi “syarat” capres ke UU ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh parpol, sehingga pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur “syarat” capres oleh parpol bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.
3. Pengusulan capres dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung bukan “Pemilu anggota DPR sebelumnya”, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945
4. Syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah close legal policy bukan open legal policy, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
5. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
6. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
7. Presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal, sehingga bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945.
8. Kalaupun pasal 222 UU 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quod non, tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi Mahkamah agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
9. Pasal 222 UU 7/2017 bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching, karena melanggar Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," tulis INTEGRITY.
• Guntur Romli Bahas Mudik Neraka Habiburokhman, Fahri Hamzah: Kebohongan Publik, Bisa Lapor Polisi
Lebih laanjut, mereka meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) segera memberika putusan atas uji konsitusional yang mereka ajukan.
"Penting pula kami garisbawahi permintaan agar Mahkamah Konstitusi segera memberikan putusan atas uji konstitusionalitas ini,
karena: satu, soal presidential threshold ini adalah hal yang penting dan strategis bagi adil dan demokratisnya pilpres, sehingga sangat layak diputus dalam waktu segera;
dua, MK pernah dengan bijak memutus perkara-perkara pemilu dengan cepat, misalnya soal KTP sebagai alat verifikasi pemilu, yang diproses hanya dalam beberapa hari, dan diputus 2 (dua) hari menjelang pemilu;
tiga, putusan yang cepat, sebelum proses pendaftaran capres pada tanggal 4 – 10 Agustus 2018 tentu adalah sikap yang bijak dari MK untuk menjaga kelangsungan Pilpres tetap berjalan baik, dan sesuai dengan konstitusi.
Kami juga memohonkan agar pembatalan Pasal 222, yang menghapuskan syarat ambang batas capres dapat diberlakukan segera, atau paling lambat sejak Pilpres 2019.
Bukan diberlakukan mundur untuk pilpres selanjutnya, sebagaimana putusan terkait pemilu serentak di putusan MK 2014.
Dengan demikian, kerugian konstitusional Para Pemohon betul-betul terlindungi, dan pelanggaran konstitusi tidak dibiarkan berlangsung dan menciderai pelaksanaan Pilpres 2019.
Akhirnya, kami paham betul bahwa permohonan uji materi soal ini telah dilakukan berulang kali.
Tetapi, justru karena sangat prinsipnya persoalan ini, maka izinkan kami memperjuangkan lagi hak rakyat Indonesia untuk secara bebas memilih calon presidennya.
Kami optimis dan meyakini bahwa majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia berkenan menyidangkan kasus ini secara cepat,
dan akhirnya mengabulkan serta mengembalikan hak rakyat Indonesia untuk memilih langsung presidennya,
tanpa dibatasi oleh syarat ambang batas pencalonan presiden yang bertentangan dengan UUD 1945.
#HapusAmbangBatasNyapres
#RakyatMauBanyakPilihan
Jakarta, 21 Juni 2018
Kuasa Hukum Para Pemohon,
*INTEGRITY*
Denny Indrayana
Haris Azhar
Abdul Qodir
Harimuddin
Zamrony," imbuhnya. (TribunWow.com/Lailatun Niqmah)
• Kesaksian Korban Selamat KM Sinar Bangun di Danau Toba: Sudah Penuh Dipaksa Masuk