Breaking News:

Hardiknas 2018, Fadli Zon: Datangkan 200 Dosen Asing Tidak Akan Perbaiki Mutu dan Iklim Akademik

Peringatan Hardiknas 2018, Fadli Zon menyoroti sejumlah isu-isu yang saat ini tengah dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia.

Penulis: Lailatun Niqmah
Editor: Lailatun Niqmah
Tribunnews
Fadli Zon 

TRIBUNWOW.COM - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zon menuliskan beberapa catatannya terkait Hari Pendidikan Nasional.

Dilansir TribunWow.com, hal tersebut ia sampaikan melalui akun Twitternya yang diunggah pada Rabu (2/5/2018).

Fadli Zon mengungkapkan jika kebanyakan setiap peringatan Hardiknas, yang diingat hanyalah tanggal lahir Ki Hajar Dewantara saja.

Di mana sebagian melupakan ajaran-jaran penting yang diperjuangkan olehnya.

Fadli Zon kemudian menyoroti sejumlah isu-isu yang saat ini tengah dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia.

Seperti datangkan 200 dosen asing ke Indonesia hingga kualitas dan mutu pendidikan di negara ini.

Berikut postingan Fadli Zon terkait hal tersebut.

Viral Benda Mirip Gunting dari RS Masih Menempel pada Dada Jenazah di Sumut, Berikut Fakta-faktanya

"Pendidikan nasional seharusnya mendorong bangsa kita mandiri dan berdaulat. #hardiknas2018

Sehingga, jika hari ini kita mendapati bangsa Indonesia masih terkooptasi kpd bangsa asing, baik secara politik, ekonomi, maupun kebudayaan, berarti ada sesuatu yg harus dikoreksi dr penyelenggaraan pendidikan nasional kita.

Setiap kali kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, yg kita ingat biasanya hanyalah tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara saja.

Kita melupakan ajaran-ajaran penting perjuangannya, terutama agar pendidikan nasional kita berangkat dari akar kebudayaan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemerdekaan dan kemanusiaan.

Ki Hadjar mendesain Perguruan Tamansiswa sbg antitesa thdp sistem pendidikan kolonial yang hanya mengutamakan intelektualitas, individualitas, dan materialitas.

Itu merupakan proto sistem pendidikan nasional kita.

Dulu kita sering mendengar istilah ‘membangun manusia Indonesia seutuhnya’. Meskipun bersifat jargonik, istilah itu sebenarnya tepat.

Untuk membangun peradaban, yg pertama kali harus dibangun adlh manusianya.

David Korten menyebutnya sbg ‘people centered development’.

Untuk membangun manusia tsb, ada tiga elemen penting yg diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan, kebudayaan, dan kepemimpinan.

Ketiganya bersifat saling kait mengait, jadi tdk bisa dipisah-pisahkan.

Sayangnya, sesudah Reformasi, terutama sesudah terbitnya UU No. 20/2003 ttg Sistem Pendidikan Nasional, desain pendidikan nasional kita terjebak pada mengejar peringkat belaka.

Ini berlaku baik untuk peserta didik, pendidik, maupun institusi pendidikan.

Siswa sibuk mengejar nilai ujian nasional yang standarnya terus naik.

Guru sibuk mengurusi laporan administrasi sertifikasi.

Semuanya kini hanya sibuk mengejar kenaikan peringkat, tapi melupakan esensi pendidikan itu sendiri.

Coba bayangkan, dosen-dosen perguruan tinggi, misalnya.

Mereka kebanyakan memikirkan bagaimana caranya agar bisa menulis di jurnal internasional yg terindeks Scopus.

Apakah tulisannya itu memiliki relevansi sosial atau tidak, memberikan inovasi atau tdk, punya manfaat atau tidak, seringkali tidak dipikirkan.

Itu semua terjadi karena tuntutan perguruan tingngi tempat mereka bekerja.

Dan perguruan tinggi kita memberikan tuntutan itu karena mereka ingin masuk dalam daftar sekian besar perguruan tinggi peringkat dunia.

Masuk dalam daftar peringkat perguruan tinggi terbaik memang bagus.

Tapi seharusnya kenaikan peringkat itu tidak dicapai melalui cara instan dan artifisial.

Rencana pemerintah mendatangkan 200 orang dosen asing dgn anggaran Rp300 miliar itu, misalnya, menurut sy adlh cara artifisial untuk mendongkrak mutu pendidikan kita.

Cara itu tidak akan memperbaiki mutu dan iklim akademik.

Itu tak ada bedanya dengan mengatasi krisis pangan melalui impor.

Untuk jangka pendek mungkin menolong, tapi itu bukanlah jalan keluar.

Kita seharusnya bisa belajar dari dibubarkannya Sekolah Berstandar Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013 silam.

MK menilai pembentukan SBI dan RSBI berpotensi mengikis rasa bangga dan karakter nasional, karena kurikulum dan lain sebagainya asing semua.

Hal ini dianggap bertentangan dengan amanat konstitusi.

Membangun pendidikan yang bertaraf internasional tidak harus mencantumkan label internasional.

Dan meniru sistem pendidikan luar negeri tidak memberikan jaminan bahwa kita akan berhasil dgn cara yg sama.

Apakah jika kita meniru model pendidikan Universitas Cambrdige atau Oxford kita bisa menghasilkan perguruan tinggi sekelas Cambrdige atau Oxford?! Kan tidak.
Pemerintah, kaum akademisi dan guru, mestinya menyadari persoalan ini.

Inilah salah satu sebab knp meskipun kita sdh menganggarkan 20 persen APBN kita untuk pendidikan, namun kualitas pendidikan kita seperti jalan di tempat.

Karena kita keliru mendefinisikan pendidikan.

Sy kasih satu contoh kasus. Coba bayangkan, pada zaman kolonial, siswa AMS selama tiga tahun bersekolah mereka minimal telah menyelesaikan 25 buku sastra. Itu tuntutan pendidikan zaman itu.

Sementara pd 1997, menurut penelitiannya Pak Taufiq Ismail, yg melakukan penelitian terhadap lulusan SMA di 13 negara, siswa-siswa SMA kita saat ini tidak harus menamatkan satu judul bacaan pun untuk bisa lulus.

Sekali lagi coba bayangkan, pada kuartal pertama abad ke-20, kemampuan membaca siswa-siswa kita tak ada bedanya dengan kemampuan siswa-siswa di Perancis, Belanda, Jepang, Rusia, atau Swiss.

Kini, kita tdk lagi merisaukan kenyataan siswa-siswa kita tak lagi membaca sastra, asalkan nilai ujian nasional mereka tinggi.
Betapa buruknya cara kita mendefinisikan persoalan dlm bdg pendidikan.

Standar nilai ujian siswa-siswa kita saat ini boleh saja tinggi, dan kita bisa saja membuatnya menjadi semakin tinggi lagi.
Tapi, masalahnya, bagaimana jika ukuran kualitas yang sebenarnya tak bisa diukur oleh nilai-nilai tadi?

Inilah yg saya maksud dgn jangan tingkatkan mutu pendidikan kita dengan cara instan, artifisial, dan salah.

Salah satu kunci untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah guru.

Sy melihat model rekrutmen pemerintah atas para guru ini masih buruk.

Dlm catatan sy, jumlah guru berstatus PNS itu sekitar 1,7 juta.

Sementara guru berstatus honorer sekitar 812 ribu orang.

Jadi, sekitar 48 persen tenaga pendidik kita adalah honorer, yg biasanya dibayar alakadarnya dan itupun sering dirapel.

Bagaimana bisa kita meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran dengan komposisi dan situasi tenaga pengajar semacam itu?

Begitu jg dgn kondisi di perguruan tinggi.

Daripada mendatangkan 200 dosen asing yg gajinya bisa sepuluh kali lipat gaji dosen lokal, jika punya dana pemerintah sebaiknya memberikan insentif lebih untuk dosen-dosen berprestasi, yg rajin menulis publikasi atau sejenisnya.

Sy kira itu akan lebih menggairahkan iklim akademik di kampus-kampus kita.

Begitu jg dgn soal publikasi internasional.

Pemerintah seharusnya membuat program untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Indonesia.

Penerjemahan buku baik sastra maupun buku-buku keilmuan yg diseleksi, ke dlm bahasa Inggris.

Sebab, harus kita akui jika kemampuan berbahasa asing di kalangan dosen kita juga terbatas.

Cara ini menurut saya lebih efektif untuk memperkenalkan Indonesia di panggung akademik dunia.

Dosen-dosen kita jg akan lebih percaya diri, krn kemampuan intelektual mereka akhirnya tak terdilusi oleh kemampuan berbahasa asingnya," tulis Fadli Zon. (TribunWow.com/Lailatun Niqmah)

Sindir Jokowi, Rocky Gerung: Kalau Rakyat Bisa Beli, Ngapain Antre di Monas

Sumber: TribunWow.com
Tags:
Hari Pendidikan NasionalFadli ZonTwitter
Rekomendasi untuk Anda
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved