Difteri Terus Makan Korban, DPR RI: Ini Bukti Kemenkes Gagal
Nihayatul Wafiroh mengatakan, harus ada evaluasi menyeluruh terhadap Kemenkes terkait penyakit difteri ini.
Editor: Lailatun Niqmah
TRIBUNWOW.COM - Anggota Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh, mengaku prihatin atas meninggalnya seorang mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Aufatul Khuzzah (19), yang diduga mengidap difteri.
"Kejadian itu bukti bahwa Kemenkes gagal melakukan pencegahan atas penyebaran pengakit Difteri ini," kata Nihayatul saat dikonfirmasi wartawan, di Jakarta, Selasa (26/12/2017).
Dilansir Tribunnews.com, Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengatakan, harus ada evaluasi menyeluruh terhadap Kemenkes.
"Bahkan, tim kinerja dari Kemenkes harus dievaluasi agar bisa lebih sistematis dan tepat sasaran dalam bekerja," katanya
Nihayatul mengatakan, penyakit difteri tidak hanya menyerang anak-anak melainkan juga dapat menjangkiti orang dewasa alias ke semua umur.
"Kasus ini, juga menunjukkan bahwa vaksin difteri harus diberikan bukan hanya kepada anak kecil tapi juga yang sudah remaja dan dewasa, karena bakteri penyebab difteri menyerang semua usia," kata.
Baca: 13 Tahun Tsunami Aceh Dalam Potret: Jangan Larut Dalam Kesedihan
Lebih lanjut, dia juga menyampaikan rasa belasungkawanya terhadap wafatnya Aufatul Khuzzah.
Dirinya juga mendesak agar Kemenkes gencar melakukan sosialisasi tentang pentingnya pemberian vaksin difteri.
"Kemenkes harus lebih menggalakkan dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya gerakan vaksin Difteri, agar tidak terulang lagi," katanya.
Diberitakan sebelumnya, mahasiswi Fakultas Tarbiyah tersebut mulanya menderita penyakit difteri sejak 7 Desember yang lalu.
Kemudian mulai mendapatkan penanganan medis sejak 9 Desember. Hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia, Sabtu (24/12/2017) kemarin.
Sebelumnya, sejumlah orang juga dinyatakan meninggal dunia akibat terjakit difteri.
Baca: 6 Ponsel Termahal di Dunia Ini Harganya Bikin Melongo, Begini Penampakannya
Seperti pasien di Kendal Jawa Tengah dan Tangerang.
Tak hanya itu, jumlah pasien yang terjangkit dan dirawat di rumah sakit juga terus melonjak di beberapa wilayah di Indonesia.
Bali
Penyakit difteri mulai mewabah di Bali. Sejauh ini, sudah ada tiga warga Bali suspect difteri yang dirawat di RSUP Sanglah, Denpasar, Bali.
Minggu (24/12/2017) sekitar pukul 16.00 Wita, satu pasien suspect difteri tiba di Ruang Penyakit Menular, Ruang Nusa Indah, RSUP Sanglah.
Pasien dibawa menggunakan mobil ambulans RSUD Kabupaten Karangasem.
Diketahui pasien tersebut tengah hamil 3 bulan.
Jakarta
Pada Senin (18/12/2017), 90 pasien difteri tengah dirawat di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta.
60 pasien di antaranya adalah anak - anak.
Antivaksin
Menurut Direktur Surveilens dan Karantina Kesehatan Kemenkes Jane Supardi, difteri sudah sejak 2009 ditemukan penderitanya di Indonesia.
Menurut Jane, wabah difteri semakin banyak menjangkit anak-anak karena jumlah anak yang tidak di imunisasi meningkat, dari tahun 2009 hingga 2017.
Jane menambahkan sesuai SOP, jika ada satu saja kasus difteri, maka suatu daerah harus masuk kategori KLB.
Untuk menanggulangi, pihak Dinkes setempat wajib memberikan ulang vaksin difteri kepada seluruh penduduk.
Di sisi lain, pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Sumaryati menyatakan, difteri tidak akan terjadi jika seluruh masyarakat berhasil divaksin.
Kenyataannya, di lapangan, universal coverage immunization (UCI) seringkali tidak mencapai target.
Sumaryati melihat, difteri ada seiring dengan munculnya gerakan antiimunisasi.
Baca ini: Presiden Jokowi Resmikan Lebih dari 10 Tol Sepanjang 2017, No 9 Mangkrak Selama 22 Tahun
Menurutnya, jika 80 persen saja masyarakat divaksin, seharusnya penularan difteri tidak terjadi.
Pihak dinas kesehatan, melalui puskesmas, sudah memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya imunisasi, seperti dengan program Germas (gerakan masyarakat) hingga door to door ke rumah-rumah warga.
Akan tetapi, program tersebut menurut Sumaryati masih belum maksimal, karena sumber daya manusia (SDM) di puskemas terbatas, terlebih setelah puskesmas melayani BPJS.
Sehingga dokter atau petugas puskesmas yang door to door ke rumah warga belum semuanya ada di berbagai wilayah, meski sudah ada iklan di TV.
Sumaryati menyoroti penyebab utama penularan difteri pada anak-anak adalah kurang pahamnya masyarakat, sehingga muncul gerakan antiimunisasi.
Ditambah tokoh-tokoh masyarakat yang mengatakan tidak perlu imunisasi anak, yang membuat banyak masyarakat ragu.
Menyikapi hal tersebut, Dinas Kesehatan mengaku sudah meminta bantuan dari MUI, lantaran antiimunisasi mencul karena faktor agama.
Meski demikian, Jane Soepardi mengaku belum ada perubahan signifikan dari masyarakat.
Menurut Jane, bahkan pernah ada satu sekolah dan satu pesantren yang menolak imuninasi, yang artinya ratusan anak bisa dengan mudah terjangit difteri dan penyakit lainnya.
Gejala
Difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diptheriae yang menular dan berbahaya.
Penyakit ini bisa mengakibatkan kematian lantaran sumbatan saluran nafas atas a toksinnya yang bersifat patogen, menimbulkan komplikasi miokarditis (peradangan pada lapisan dinding jantung bagian tengah), gagal ginjal, gagal napas dan gagal sirkulasi.
"Difteri itu gejalanya radang saluran nafas, ada selaput putih dan gampang berdarah, dan toksinnya itu yang bahaya, bikin kelainan jantung, meninggal," katanya.
Difteri menimbulkan gejala dan tanda berupa demam yang tidak begitu tinggi, 38ºC, munculnya pseudomembran atau selaput di tenggorokan yang berwarna putih keabu-abuan yang mudah berdarah jika dilepaskan, sakit waktu menelan, kadang-kadang disertai pembesaran kelenjar getah bening leher dan pembengakan jaringan lunak leher yang disebut bullneck.
Adakalanya disertai sesak napas dan suara mengorok.
Baca juga: Mencengangkan! Fakta Soal Guatemala Negara Miskin Sahabat Sejati Israel Ini Bikin Geleng-geleng
Segera Imunisasi Anak
Melihat kasus ini, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) menyatakan keprihatinan.
Dua organisasi profesi ini menekankan agar seluruh masyarakat terutama orangtua untuk membawa anaknya guna mendapat imunisasi tambahan dan status imunisasi semua anak di luar wilayah ORI lengkap sesuai usia untuk menanggulangi Kejadian Luar Biasa Difteri. (*)