Wabah Difteri Meningkat Karena Ada Gerakan Antiimunisasi, Jawa Timur Tertinggi
Provinsi Jawa Timur merupakan yang tertinggi untuk wilayah terjangkit difteri, yang meningkat karena adanya kelompok antiimunisasi.
Penulis: Lailatun Niqmah
Editor: Lailatun Niqmah
TRIBUNWOW.COM - Wabah difteri yang telah memakan puluhan korban jiwa setidaknya di 20 provinsi membuat Kementerian Kesehatan menetapkan status kejadian luar biasa (KLB).
Data Kementerian Kesehatan menujukkan sampai dengan November 2017, ada 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri.
Secara keseluruhan terdapat 622 kasus, 32 diantaranya meninggal dunia.
Dilansir Kompas TV pada Kamis (7/12/2017) menurut laporan dari Kementerian Kesehatan, Provinsi Jawa Timur merupakan yang tertinggi untuk wilayah terjangkit difteri.
Hal tersebut lantaran imunisasi yang tidak merata di Jawa Timur, selain itu juga karena banyaknya warga yang kurang sadar akan pentingnya imunisasi.
Adapun wilayah yang penderita difterinya terbanyak diantaranya Nganjuk, Malang, dan Pasuruan.
Menurut Direktur Surveilens dan Karantina Kesehatan Kemenkes Jane Supardi, difteri sudah sejak 2009 ditemukan penderitanya di Indonesia.
Menurut Jane, wabah difteri semakin banyak menjangkit anak-anak karena jumlah anak yang tidak di imunisasi meningkat, dari tahun 2009 hingga 2017.
Jane menambahkan sesuai SOP, jika ada satu saja kasus difteri, maka suatu daerah harus masuk kategori KLB.
Untuk menanggulangi, pihak Dinkes setempat wajib memberikan ulang vaksin difteri kepada seluruh penduduk.
Di sisi lain, pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Sumaryati menyatakan, difteri tidak akan terjadi jika seluruh masyarakat berhasil divaksin.
Kenyataannya, di lapangan, universal coverage immunization (UCI) seringkali tidak mencapai target.
Sumaryati melihat, difteri ada seiring dengan munculnya gerakan antiimunisasi.
Menurutnya, jika 80 persen saja masyarakat divaksin, seharusnya penularan difteri tidak terjadi.
Pihak dinas kesehatan, melalui puskesmas, sudah memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya imunisasi, seperti dengan program Germas (gerakan masyarakat) hingga door to door ke rumah-rumah warga.
Akan tetapi, program tersebut menurut Sumaryati masih belum maksimal, karena sumber daya manusia (SDM) di puskemas terbatas, terlebih setelah puskesmas melayani BPJS.
Baca: Berat Badan Naik dari 110Kg Jadi 310 Kg, Yudi Mengaku tak Tahu Sebabnya, Netizen: Lol
Sehingga dokter atau petugas puskesmas yang door to door ke rumah warga belum semuanya ada di berbagai wilayah, meski sudah ada iklan di TV.
Sumaryati menyoroti penyebab utama penularan difteri pada anak-anak adalah kurang pahamnya masyarakat, sehingga muncul gerakan antiimunisasi.
Ditambah tokoh-tokoh masyarakat yang mengatakan tidak perlu imunisasi anak, yang membuat banyak masyarakat ragu.
Menyikapi hal tersebut, Dinas Kesehatan mengaku sudah meminta bantuan dari MUI, lantaran antiimunisasi mencul karena faktor agama.
Meski demikian, Jane Soepardi mengaku belum ada perubahan signifikan dari masyarakat.
Menurut Jane, bahka pernah ada satu sekolah dan satu pesantren yang menolak imuninasi, yang artinya ratusan anak bisa dengan mudah terjangit difteri dan penyakit lainnya.
Diberitakan Tribunnews.com, Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jose Rizal Latief Batubara menjelaskan difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diptheriae yang menular dan berbahaya.
Penyakit ini bisa mengakibatkan kematian lantaran sumbatan saluran nafas atas a toksinnya yang bersifat patogen, menimbulkan komplikasi miokarditis (peradangan pada lapisan dinding jantung bagian tengah), gagal ginjal, gagal napas dan gagal sirkulasi.
"Difteri itu gejalanya radang saluran nafas, ada selaput putih dan gampang berdarah, dan toksinnya itu yang bahaya, bikin kelainan jantung, meninggal," katanya.
Baca: Pelakor Dijebak Istri Sah, Awalnya Pura-pura Setuju, Selanjutnya Malah Dibikin Malu
Difteri menimbulkan gejala dan tanda berupa demam yang tidak begitu tinggi, 38ºC, munculnya pseudomembran atau selaput di tenggorokan yang berwarna putih keabu-abuan yang mudah berdarah jika dilepaskan, sakit waktu menelan, kadang-kadang disertai pembesaran kelenjar getah bening leher dan pembengakan jaringan lunak leher yang disebut bullneck.
Adakalanya disertai sesak napas dan suara mengorok. (*)