Breaking News:

Kisah Pilu Kadek Ngentis, Ditinggal Suami, Hutang Menumpuk, 'Kelakuan' Anaknya Bikin Nangis

Sembari menyeka air mata di pipi, Ni Kadek Ngetis menceritakan pilunya hidup yang dirasakannya

Editor: Wulan Kurnia Putri
Tribun Bali/Muhammad Fredey Mercury
Kadek Ngetis dan Putu Juliantari ketika ditemui di kediamannya, Kamis (21/9/2017) 

TRIBUNWOW.COM - Isak tangis Ni Kadek Ngetis pecah ketika menceritakan pilunya hidup yang dialaminya.

Sembari menyeka air mata di pipi, wanita yang beralamat di Banjar Pulesari Kangin, Desa Peninjoan, Tembuku ini menceritakan pilunya hidup yang dirasakannya, Kamis (21/9/2017).

Sekitar 11 tahun lalu, kehidupan Ni Kadek Ngetis bisa dibilang mampu.

Bersama suaminya yang bernama I Komang Tegteg, keduanya berjualan sembako di Pasar Sanglah.

Namun sayang, toko tersebut mengalami musibah pencurian.

Sehingga memaksanya untuk kembali ke desa asal, yakni di Banjar Pulesari Kangin, Desa Peninjoan, Tembuku.

Suaminya pun juga terpaksa harus mengganti rugi barang-barang yang dirampok tersebut.

Bersama dengan suaminya, Kadek Ngetis pun akhirnya menjadi petani di kampung.

Tujuh tahun berlalu, Komang Tegteg memutuskan untuk merenovasi rumahnya untuk kenyamanan keluarganya.

Namun, berselang satu tahun kemudian, Komang Tegteg yang kala itu masih berusia 40 tahun, meninggal dunia lantaran penyakit jantung yang dideritanya.

Kadek Ngetis pun otomatis menjadi tulang punggung keluarganya.

Berbagai keperluan rumah tangga, hingga biaya sekolah harus ditanggungnya.

Bahkan bunga untuk hutang-hutang di Koperasi di daerah Klungkung dan di LPD Pulesari tak mampu dibayarkannya.

Jumlah hutang pun tergolong tinggi, untuk hutang di sebuah Koperasi di Klungkung besarnya mencapai Rp 28 juta, yang ketika itu digunakan untuk modal usaha.

Selanjutnya hutang di LPD Pulesari, sebesar Rp 25 juta, yang digunakan untuk memperbaiki rumah.

Adapun hutang gadai ladang dan isinya sebesar Rp 15 juta, dan hutang untuk menyekolahkan anak pertamanya Putu Juliantari ke SMK sebesar Rp 3 juta.

Sedangakan dia hanya bekerja sebagai pembuat canang serta terkadang menjadi buruh angkut nangka.

“Total keseluruhan Rp 71 juta. Untuk bayar bunganya sebesar Rp 1 juta di koperasi dan Rp 500 ribu di LPD itupun tidak mampu saya bayar. Sedangakan pendapatan sehari-hari dari menjual canang hanya sebesar Rp 20 ribu. Pendapatan tersebut digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari bersama ketiga anak saya,” ucapnya dengan nada sesenggukan.

Meski dalam kondisi kekurangan, tak membuat Kadek Ngetis menyerah.

Dia tetap berusaha dan berkerja semampunya, agar anak-anaknya tetap sekolah.

Kadek Ngetis juga mengatakan, seminggu sebelum suaminya meninggal dunia sempat berpesan, kelak ketika dirinya telah tiada, Kadek Ngetis diminta untuk tetap bekerja di kampung, agar anak-anaknya tidak terlantar.

“Suami saya berpesan, ‘kamu disini saja kerja, jangan kemana-mana, biar anak-anak tidak terlantar’, kalimat itu yang selalu terngiang, dan menjadi motivasi agar tetap kuat,” ujar wanita tiga anak ini.

Kondisi yang serba kekurangan memaksa anak-anak Kadek Ngetis untuk turut membantu ibunya.

Anak pertamanya Ni Putu Juniantari (16) turut membantu membuat canang, serta mencari rumput untuk pakan sapi yang dititipkan.

Sama halnya dengan Kadek Sinta Anjani (9) dan Komang Novi Sucipta (8) yang turut meburuh membuat canang lantaran tidak tega melihat kondisi ibunya.

“Saya tidak ada menyuruh anak saya untuk ikut meburuh, namun dia berkata biar uangnya bisa dipakai bekal sekolah. Siapa yang tidak pilu mendengar anak sekecil itu berucap demikian,” tuturnya.

Himpitan ekonomi juga sempat memaksa Kadek Ngetis untuk menghentikan pembiayaan sekolah Putu Juliantari yang kini menginjak kelas XI di SMKN 1 Tembuku jurusan Farmasi.

Hal ini lantaran dirinya tidak mampu membayar SPP sebesar Rp 75 ribu per bulan.

“Belum lagi dua bulan kedepan, Putu juga akan training di Bangli. bagaimana biaya kosnya? Transportasi dan keperluan sehari-harinya seperti makan? Sedangkan saya tidak punya kendaraan bahkan biaya untuk kos dia,” ucapnya.

Permintaan dia agar Putu berhenti sekolah, pasti akan ditolak.

Hal ini pun disadarinya, sebab Putu tergolong anak yang rajin.

Jarak sepanjang hampir lima kilometer pun dijalaninya dengan berjalan kaki.

Terkadang ketika menjumpai teman sekolahnya dijalan, diberhentikan temannya agar Putu mendapat tumpangan.

Sama halnya dengan kedua adiknya, yang masih duduk di bangku sekolah dasar, juga berjalan kaki dengan jarak hampir dua kilometer.

Bahkan dikatakan Kadek Ngetis, Putu Juliantari sempat menangis ketika sampai dirumah, karena saking jauh jarak yang ditempuhnya dengan kondisi lapar.

“Keteguhan hati anak saya untuk sekolah memang tinggi, semoga setelah lulus nanti, dia bisa membantu keluarga,” harapnya.

Ditempat yang sama, Putu Juliantari mengatakan jika setiap harinya dia berangkat pada pukul 05.30 Wita ke sekolah.

Dara berkulit putih ini juga mengatakan, setiap harinya dia selalu mengambil air dari Petirtaan yang berjarak 1,5 kilometer dari rumahnya.

Ini dilakukan karena rumahnya belum berlangganan air PDAM.

Sama halnya dengan listrik yang masih nyambung dari tetangga, dan kini terpaksa dicabut lantaran tidak mampu membayar sebesar Rp 25 ribu per bulannya.

Meski demikian, dara yang bercita-cita menjadi seorang apoteker ini tetap mampu mengikuti pelajaran dan mendapat peringkat 10 besar ketika kelas XI. (Tribun Bali / Muhammad Fredey Mercury)

Berita ini sebelumnya telah tayang di Tribun Bali dengan judul Pilu, Hidup Kadek Ngetis Pasca Ditinggal Suami, Almarhum: Kamu Disini saja, Jangan Kemana-mana’

Sumber: Tribun Bali
Tags:
BaliSekolahAnak
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved