Keadilan Hukum Kasus Indria Kameswari, PNS yang Sering Berkata Kasar hingga Dibunuh Suaminya
Portal pemberitaan masih diramaikan oleh kasus yang menimpa Indria Kameswari (30), seorang istri yang tewas diduga dibunuh oleh suaminya.
Penulis: Maya Nirmala Tyas Lalita
Editor: Maya Nirmala Tyas Lalita
TRIBUNWOW.COM - Portal pemberitaan masih diramaikan oleh kasus yang menimpa Indria Kameswari (30), seorang istri yang tewas diduga dibunuh oleh suaminya.
Pegawai Diklat Badan Narkotika Nasional (BNN) ini ditemukan tewas di rumahnya.
Kini polisi telah menangkap AM, pria yang diduga pelaku pembunuhan tersebut, di Tanjung Buntung Batam, Kepulauan Riau, Minggu (3/9/2017) malam.
Terkait peristiwa nahas ini, tetangga korban pun ikut memberi kesaksian.
"Memang, keluarganya tadi memperlihatkan rekaman-rekaman AM yang dikirim ke anggota keluarganya atau ke kakak-kakaknya."
"Dalam rekaman itu, 'Lo memang ngga pantes sama gue, lo cocoknya sama pejabat' itu omongannya si Pak Haji (AM). Istrinya juga, mengatakan yang demikian kalau memang cocoknya pasangannya itu pejabat. Jadi memang istrinya sering intimidasi si Pak Haji," jelas seorang tetangga orangtua AM kepada reporter Wartakotalive.com yang hanya bersedia disebutkan inisialnya SM (59).
Beredar Rekaman Pertengkaran Diduga Pelaku dan PNS Cantik, Penuh Umpatan Kasar! Lihat Videonya!
Usai pengakuan tetangga, muncul pula transkrip yang diduga rekaman pertengkaran.
Dalam transkrip tersebut tertera kata-kata kasar yang dilontarkan oleh sang wanita.
Alasannya karena si pria tidak segera membelikan mobil baru.
Siti Nuraeni, kakak kandung pelaku pembunuhan pun mengungkapkan fakta mengejutkan.
Dikatakan Indria seringkali bersikap arogansi kepada AM.
Wanita yang akrab disapa Eni ini pun membeberkan AM yang diketahui adalah lulusan di salah satu Universitas di Australia.
Geger Video Sawer dan Berendam di Kolam Renang, Hotman Paris Beri Pengakuan Ini!
Ia menjelaskan bahwa AM seringkali mendapat pukulan dari istrinya sendiri.
"Saya sudah ada hasil visum dari Rumah Sakit (RS) Sentul City Bogor. Terbukti Indria itu kerap memukul adik saya (AM). Bahkan, saya ini ada bukti kiriman rekaman dari adik saya yang kala adik saya bertengkar dengan dia (Indria). Kami dari pihak keluarga tidak menyangka, jikalau si Indria ini sering bersikap kasar ke adik saya ya yang dimana adalah suaminya. Indria ini malu, malu punya mobil butut. Malu rumah ngontrak di Bogor," papar Eni kediaman orangtuanya, di Warakas I Gang IIA, Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (4/9/2017).
Terkait hal tersebut, Reza Indragiri Amriel, pakar Psikologi Forensik, mengutarakan keresahaannya terhadap hukum yang dijatuhkan kepada para pelaku pembunuhan.
Dalam pesan berantai WhatsApp Messenger, Reza mengatakan, semua pelaku pembunuhan wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Namun, ia menyayangkan ketika terdakwa perempuan menggunakan battered woman alias penyiksaan kepada wanita sebagai kekuatan dalam persidangan.
Dalam beberapa kasus, battered woman berhasil meringankan beban hukuman terdakwa perempuan.
Sayangnya, tidak ada kebijakan semacam ini untuk terdakwa pria.
Berikut tulisan Reza selengkapnya:
Setiap pembunuh, siapa pun dia, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
Sisi nyata, dalam sekian banyak persidangan, terdakwa perempuan menggunakan "battered woman/wife syndrome" sebagai pembelaan diri.
Para terdakwa tersebut menyebut telah mengalami penghinaan, penistaan, dan penganiayaan yg sedemikian buruknya dari pasangan hingga tidak lagi mampu berpikir secara rasional.
Dalam kondisi sedemikian terpuruk, tiada lain yg terpikir oleh para perempuan tersebut untuk membela diri dan keluar dari situasi pedih itu kecuali dengan menghabisi pasangannya.
Hakim bisa menjatuhkan vonis tak bersalah atau meringankan hukuman atas diri terdakwa, jika teryakinkan bahwa terdakwa betul-betul menderita battered woman/wife syndrome.
Itu terdakwa perempuan!
Bagaimana jika yang teraniaya sedemikian rupa adalah laki-laki?
Saya kerap risau kalau dikatakan bahwa laki-laki adalah mayoritas pelaku KDRT.
Boleh jadi banyak laki-laki atau suami yang menjadi korban KDRT.
Tapi mereka tidak melapor karena aib.
Melapor malah membuka risiko mengalami secondary victimization, di-bully oleh penegak hukum maupun lembaga advokasi.
Anggaplah lelaki melakukan kekerasan fisik.
Tapi seberapa besar kemungkinan lelaki bangun tidur sekonyong2 lgsg menempeleng isteri, kcli jk si suami mabuk atau gila.
Sayangnya, kita acap tidak cukup jauh berpikir bahwa kekerasan fisik lelaki bisa dilatarbelakangi oleh kekerasan verbal perempuan.
Nah, jd bisakah terdakwa lelaki yg menghabisi pasangannya menggunakan "battered man/husband syndrome" sebagai pembelaan diri di persidangan?
Semestinya bisa saja.
Toh hukum tdk diskriminatif.
Toh para lelaki juga bisa terzalimi.
Namun, siapakah kaum lanang yg bernyali membela diri dengan klaim tersebut?
Reza Indragiri Amriel Pakar Psikologi Forensik yang juga Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) (TribunWow.com/Maya Nirmala Tyas Lalita)