Breaking News:

Sama-sama Terjerat Kasus ITE, Ini Lho Bedanya Kasus Buni Yani dan Ade Armando!

"Pak Buni Yani sendiri mengatakan harusnya perlakuan yang sama diberlakukan, seperti apa yang terjadi di kasus Ade Armando, prosesnya dihentikan."

Penulis: Tinwarotul Fatonah
Editor: Tinwarotul Fatonah
KOMPAS.COM
Ade Armando dan Buni Yani 

TRIBUNWOW.COM - Buni Yani meminta polisi menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk dirinya, Kamis (23/2/2017).

Melalui Kuasa Hukum Buni Yani, Aldwin Rahardian, mengajukan permohonan SP3 untuk kliennya.

Menurutnya, Buni Yani harus mendapat perlakuan penanganan hukum yang sama seperti Ade Armando.

"Pak Buni Yani sendiri mengatakan bahwa harusnya perlakuan yang sama diberlakukan, seperti apa yang terjadi di kasus Ade Armando, prosesnya dihentikan. Kalau mau fair kita juga sama dong, hentikan," kata Aldwin ketika dihubungi Kompas.com, Kamis (23/2/2017).

Sebelumnya, Ade Armando juga pernah tersandung kasus serupa, yakni sama-sama diduga melakukan penyebaran kebencian berdasar suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sesuai Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

"Kan jelas-jelas bahasanya, dikutip dilihat seperti apa, menebarkan kebencian gitu lho. Jadi menurut saya ini, ada kesan diskriminatif, perlakuan berbeda," ujar Aldwin dikutip dari Kompas.com.

Kasus Ade Armando bermula dari unggahan status di Facebook-nya yang berbunyi, "Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayat-Nya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues."

Ade mengaku bahwa ia menulis status tersebut pada Mei 2015 terkait dengan rencana Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menggelar festival pembacaan Al Quran dengan langgam Nusantara.

Pengguna Twitter bernama Johan Khan (@CepJohan) kemudian melaporkan Ade ke Polda Metro Jaya atas pasal penodaan agama. Ade telah diperiksa dua kali oleh kepolisian pada Juni 2016 dan Januari 2017.

Ia ditetapkan sebagai tersangka pada Januari 2017, namun setelah sejumlah ahli dimintai keterangan, tidak ditemukan tindak pidana dalam kasusnya.

Buni Yani ditetapkan sebagai tersangka sejak November 2016.

Ia dilaporkan oleh sejumlah pendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok lantaran mengunggah penggalan video pidato Ahok disertai dengan keterangan yang dianggap kontroversial.

Meski mengaku bukan yang pertama mengunggah video itu, unggahan Buni Yani menjadi viral.

Tak lama Ahok pun mulai dilaporkan dan akhirnya disidang dalam kasus penodaan agama.

Buni Yani memperjuangkan nasibnya dengan membuat petisi hingga mengajukan permohonan praperadilan.

Namun hakim menolaknya sehingga polisi terus memproses kasus Buni Yani.

Terus apa beda dari kedua kasus ini sebenarnya?

1. Kasus Ade Armando

Dilansir dari Kompas.com, polisi menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas kasus dugaan penodaan agama yang melibatkan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Ade Armando, karena tidak menemukan unsur pidana.

"Itu (keluar SP3) karena kita telah memeriksa beberapa saksi. Saksi bahasa, pidana, dan ITE, dari hasil itu para ahli tidak menemukan unsur pidana," kata Wahyu di Mapolda Metro Jaya, Selasa (20/2/2017).

Wahyu mengatakan, meskipun Ade sudah menyandang status tersangka, pihaknya bisa saja mengeluarkan SP3.

Ade diketahui telah dipanggil dua kali, salah satunya pada 2015 sebelum ia ditetapkan sebagai tersangka.

Adapun SP3 terbit pada Januari 2017. "Ya kalau memang tidak temukan pidana bisa saja," kata Wahyu.

2. Kasus Buni Yani

Dilansir dari Kompas.com, Sutiyono, hakim tunggal sidang permohonan praperadilan menilai, penyidik dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya telah sesuai dengan prosedur yang sah dalam menetapkan Buni sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik dan penghasutan terkait suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).

Dalam menetapkan Buni sebagai tersangka, tambah Sutiyono, penyidik sudah memiliki dua alat bukti permulaan, yaitu keterangan saksi dan keterangan ahli.

"Penetapan tersangka sah karena telah memenuhi bukti permulaan. Penangkapan juga dapat dilakukan di mana pun, termasuk kantor kepolisian usai diperiksa menjadi saksi," ucap dia.

Selain itu, lanjut Sutiyono, polisi telah melengkapi syarat formal administrasi penyidikan, mulai dari menerbitkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP), pemanggilan saksi, penetapan tersangka, dan penangkapan hingga gelar perkara.

"Bukti berupa sprindik jelas dimulai 25 Oktober 2016. Tidak dikirimnya SPDP ke JPU tidak terbukti," kata Sutiyono.

Dengan hakim menolak permohonan praperadilan Buni, penyidik akan melanjutkan perkara itu hingga sampai ke tahap pengadilan.

Buni ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik dan penghasutan terkait SARA.

Selain itu, menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono mengatakan, Buni jadi tersangka bukan karena mengunggah video tersebut.

Namun, polisi menetapkan tersangka terhadap Buni karena caption yang dia tulis di akun Facebook-nya.

"Tidak ditemukan adanya perubahan atau penambahan suara BTP dari video yang di-posting. Video asli hanya dipotong menjadi 30 detik. Perbuatannya bukan mem-posting video, tapi perbuatan pidananya adalah menuliskan tiga paragraf kalimat di akun Facebook-nya ini," ujar Awi di Mapolda Metro Jaya, Rabu (23/11/2016).

Tiga paragraf yang ditulis Buni, kata Awi, dinilai saksi ahli dapat menghasut, mengajak seseorang membenci dengan alasan SARA.

Dalam kasus ini, Buni terancam dijerat Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi dan Transaksi Elektronik mengenai penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.

Ancaman hukumannya maksimal enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar. (TribunWow.com/Tinwarotul Fatonah)

Sumber: TribunWow.com
Tags:
Buni YaniAde ArmandoUndang-undang ITE
Rekomendasi untuk Anda
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved