Breaking News:

Opini

Ya Allah, Tuhan YME, Kenapa Pers Kami Kacau Begini

Apakah verifikasi yang dilakukan dewan pers keliru? Saya kira tidak. Pers Indonesia memang sedang kacau dan harus segera ditertibkan.

Editor: Mohamad Yoenus
Tribun Medan
Pers 

TRIBUNWOW.COM -- SAYA sama sekali tidak bermaksud mengolok-olok Pak SBY. Saya tak punya nyali sebesar orang lain.

Namun apa boleh buat, cuitannya yang sensasional itu, saya kira, memang cocok diadopsi untuk menggambarkan situasi pers Indonesia di hari-hari belakangan ini.

Situasi yang serba kacau, yang makin dikacaukan oleh kebijakan teranyar Dewan Pers. Alih-alih menertibkan, verifikasi yang dilakukan Dewan Pers justru menerbitkan gerutu dan amuk. Terutama lewat media sosial.

Ribuan orang, baik yang sehari-hari berkecimpung di ranah kerja pers maupun tidak, memberikan pendapat. Dan makin ke sini, opini makin bergeser ke arah pengekangan dan pemberangusan pers. Indonesia di era Joko Widodo disebut kembali ke Indonesia di era Soeharto.

Benarkah demikian? Apakah verifikasi yang dilakukan dewan pers keliru? Saya kira tidak. Pers Indonesia memang sedang kacau dan harus segera ditertibkan.

Di era Pemerintahan Presiden Soeharto, Pers Pancasila dipaksakan menjadi filosofi dan karakter pers Indonesia, untuk menghindarkan dan memberi jarak dari pers berpaham libetarian, otoritarian, dan komunis. Pemerintah ingin memegang kendali penuh dan memang itulah yang dilakukan.

Pers Pancasila adalah pers yang bebas dan di sisi lain bertanggung jawab.

Sesungguhnya tidak kontradiktif. Bebas memang bukan berarti bablas. Harus tetap ada tanggung jawab. Namun dalam praktiknya, kata 'tanggung jawab' menjadi pisau bermata dua.

Pemerintah Orde Baru memaknai 'tanggung jawab' bukan sebagai tanggung jawab pers kepada pembaca, di mana dengan demikian patokan dan tolok ukurnya adalah asas-asas jurnalistik dan fungsi sebagai sosial kontrol, melainkan tanggung jawab kepada pemerintah.

Pers yang dianggap baik adalah pers yang tidak menyoroti kinerja pemerintah.

Terutama kinerja yang buruk. Atas ini pers harus tutup mata dan telinga. Yang berani-beranian menyoroti dianggap tidak bertanggung jawab, kurang ajar, dan karenanya harus digebuk.

Era Pers Pancasila yang sontoloyo ini berakhir seiring kejatuhan Soeharto di tahun 1998.

Semestinya ini jadi kabar bagus. Semestinya kehidupan pers di Indonesia dapat bergeser ke sisi yang lebih baik. Era baru yang lebih memungkinkan untuk mencapai kecemerlangan.

Sayangnya tidak terjadi. Sampai 19 tahun pascahari kejatuhan Orde Baru, pers Indonesia tak beranjak jauh.

Hanya lebih baik dari sisi jumlah. Kebijakan pemerintah yang menghapuskan kewajiban memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) membuat pertumbuhan jumlah media, dalam hal ini media cetak, meningkat pesat.

Cukup minimal mengantongi izin Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV), maka siapapun bisa mendirikan dan kemudian mengelola perusahaan media.

Tak perlu repot-repot menyusun data-data administratif karyawan. Tak perlu punya mesin cetak sendiri. Cukup kumpulkan dua tiga orang untuk dijadikan wartawan, dua tiga orang untuk ditugaskan mengurus administrasi dan keuangan, dua tiga orang loper, dan beberapa perangkat komputer, tempatkan di satu ruangan seadanya.

Kantor tak perlu besar. Satu kamar kontrakan sudah cukup. Bahkan kalau perlu tidak usah pakai kantor sama sekali. Lalu cetak kartu pers dan terbitkan produk sesuai kekuatan modal. Bisa harian, bisa mingguan, bisa dua mingguan, bisa bulanan, bisa juga dua tahun sekali: menjelang Hari Raya dan menjelang Tahun Baru.

Di era digital perkembangan media semakin pesat. Media-media dalam jaringan (online) bermunculan. Banyak sekali.

Satu kecenderungan yang bisa dimaklumi mengingat mendirikan media dalam jaringan jauh lebih mudah ketimbang media cetak. Cukup beli hosting dan domain. Harganya murah. Bahkan ada yang gratisan.

Namun kuantitas yang meroket, konon hampir mencapai angka 400 ribu, ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas yang justru makin merosot. Mengapa?

Sebagian media dalam jaringan dijalankan dengan melabrak asas-asas jurnalistik. Berita ditayangkan tanpa konfirmasi sama sekali pada narasumber. Bahkan tanpa memerdulikan elemen dasar 5W1H.

Bahkan ada yang lebih kurang ajar. Bukan sekadar tak punya malu menyajikan berita salin tempel dari media lain, lebih jauh mereka mengganti kalimat-kalimat di dalam berita itu, juga mengganti judulnya, sesuai dengan opini atau kesimpulannya sendiri.

Belum cukup, berita sampah semacam ini mereka sebar pula tautannya di media-media sosial, lewat perantara akun-akun robot.

Media-media kurang ajar seperti ini tentu saja sangat meresahkan. Selain sulit dituntut pertanggungjawabannya lantaran tidak memiliki susunan redaksi yang valid dan sahih, alamat redaksi mereka juga rata-rata palsu.

Ada yang beralamat di Jogja, di Jakarta, di Surabaya, di Bandung, di Medan, padahal seluruh operasional dijalankan dari tempat lain. Kadang-kadang bahkan hanya oleh satu dua orang.

Gawatnya, masih saja ada orang yang percaya. Termasuk orang-orang yang secara logika, antara lain berdasarkan tingkat pendidikan dan pekerjaan, rasa-rasanya tidak mungkin memercayainya.

Cobalah periksa halaman media sosial Anda. Entah Facebook entah Twitter. Sesekali, cobalah hitung berapa banyak kawan Anda yang bukan cuma percaya, akan tetapi juga ikut menyebarkan berita-berita acak-kadut dari media-media kurang ajar itu. Barangkali Anda akan merasa sangat terkejut.

Atas dasar inilah, saya kira, Dewan Pers bergerak melakukan penertiban. Keamburadulan dan kekacauan harus segera diakhiri sebelum mengakibatkan kehancuran intelektual yang jauh lebih parah.

Persoalannya, apakah verifikasi, yang lantas ditindaklanjuti dengan pemberian barcode, merupakan cara penertiban yang paling efektif? Atau mungkin pertanyaan ini bisa diganti.

Apakah ada cara lain untuk melakukan penertiban terhadap media-media yang tidak memenuhi standar dan etika jurnalistik?

Edukasi pembaca kelihatannya menjadi jalan keluar yang akan lebih bisa diterima. Namun kita juga sudah terlanjur tahu bahwa langkah ini nyaris mustahil dilakukan di Indonesia. Setidaknya untuk sekarang.

Tingginya kepercayaan terhadap berita-berita palsu, berita-berita propaganda yang menyesatkan dan menjerumuskan, hanya bisa terjadi lantaran satu perkara, yakni kemalasan membaca.

Dengan membaca, seyogianya tiap-tiap berita yang terbit di media, baik cetak maupun elektronik maupun dalam jaringan, tidak serta-merta dikunyah lalu ditelan.

Semestinya dilakukan tinjau ulang dengan cermat dan teliti lebih dulu. Melakukan telaah dan pembandingan-pembandingan terhadap informasi dan literatur-literatur lain.

Langkah-langkah ini diabaikan. Bahkan tidak sedikit yang berkesimpulan dan kemudian menyebarkan tautan-tautan berita di media-media dalam jaringan hanya dengan membaca judulnya tanpa tahu isi beritanya.

Dewan Pers agaknya juga memandang kecenderungan menyedihkan ini. Edukasi pembaca barangkali memang merupakan langkah terbaik, namun tidak bisa diharapkan dapat berhasil dalam waktu dekat. Harus dilakukan dengan sabar, pelan-pelan.

Padahal di lain sisi, keamburadulan dan kekacauan pers Indonesia sudah sampai pada titik genting.

Maka dengan verifikasi, mungkin, Dewan Pers berharap, media-media akan tersaring dan dengan sendirinya terseleksi. Mana yang kompeten dan layak baca, layak tonton dan layak dengar, mana yang tidak.

Tapi begitulah, kita pun sudah sama-sama tahu, betapa keamburadulan dan kekacauan ini sepertinya memang belum akan berakhir dalam waktu dekat.

Bukan terkait langkah Dewan Pers yang masih jauh dari sempurna --terutama terkait mekanisme kerja dalam melakukan verifikasi yang terbilang lamban. Melainkan karena persoalan yang mendasar sekali.

Upaya penertiban oleh Dewan Pers justru mengundang protes dan perisakan bagi mereka. Mengatasnamakan kebebasan pers, para pemrotes dan perisak yang rata-rata merasa menjadi korban, menuding Dewan Pers sebagai antek pemerintah.(ngopisore/tribun medan/t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Tags:
SBYJoko WidodoOrde BaruFadli ZonNeno WarismanTwitter
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved