Dampak 'Mengejutkan' Pencopotan Direksi Pertamina Versi Pengamat UI
Masyarakat Indonesia sudah dapat membaca apa yang terjadi dengan kasus pencopotan tersebut.
Editor: Rimawan Prasetiyo
TRIBUNWOW.COM, JAKARTA - Mengemban sebagai alat strategis untuk mewujudkan amanat Pasal 33 UUD 1945 yakni mencapai kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia, pimpinan baru Pertamina harus memastikan dirinya tidak akan pernah dapat intervensi dari kepentingan nonnegara.
Manajemen baru badan usaha milik negara itu harus berani melawan kepentingan-kepentingan kelompok yang bertentangan dengan perwujudan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hanya dengan cara ini, Pertamina dapat menjadi world wide corporation sebagaimana yang diharapkan oleh Presiden Joko Widodo.
Demikian ditegaskan oleh President Indonesia Strategic Managemen Society (PISMS), Sari Wahyuni PhD kepada melalui rilis yang masuk ke redaksi, Kamis (9/2/2017).
Pernyataan ini menanggapi dicopotnya dua pimpinan puncak Pertamina, Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang dari posisinya sebagai Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama.
“Di tangan Dwi Soetjipto, sesuai dengan harapan Presiden, laba Pertamina telah melampaui Petronas."
"Itu bukan upaya yang mudah jika dilihat dari sejarah Pertamina sebelumnya."
"Menghapus peran Petral dan mata rantai bisnis Pertamina yang tidak efisien dilakukan oleh Dwi Soetjipto."
"Dirut Pertamina itu telah membuktikan bahwa di tangannya, BUMN yang karut marut itu bisa menjadi pemain kelas dunia dan bahkan merambah ke manca negara,” ujar Pengamat ekonomi Sari Wahyuni yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI).
Menurut Sari, dipilihnya Dwi Soetjipto sebagai orang nomor satu di Pertamina tidak terlepas dari rekam jejaknya sebagai orang nomor satu PT Semen Indonesia.
Di tangannya, laba Semen Indonesia melonjak 11 kali lipat dalam waktu kurang lebih 9 tahun dari Rp 500 miliar menjadi Rp 5,5 triliun.
“Di Pertamina yang kata banyak orang sarang mafia, mata rantai yang tidak efisien pun dipotong mulai dari ditutupnya Petral hingga efisiensi tahun lalu mencapai 608 juta dolar AS atau hampir sekitar Rp 8 triliun."
"Di saat Petronas memutus hubungan kerja 1000 orang ,Pertamina tetap mempertahankan pegawainya bahkan meraup laba dari Rp 18 triliun menjadi Rp 19 triliun."
"Belum lagi berhasil diterapkannya harga BBM nasional diseluruh wilayah Indonesia,” jelasnya.
Dengan mengulang pernyataan Menteri BUMN Rini Soemarno pada 28 November 2014, ia menambahkan, penunjukkan Dwi Soetjipto sebagai orang nomor satu di Pertamina dengan goal mempercepat transformasi Pertamina untuk menjadi perusahaan kelas dunia dan sekaligus menerapkan sistim transparansi yang berlaku dari hulu hingga ke hilir.
Oleh karena itu,masyarakat Indonesia sudah dapat membaca apa yang terjadi dengan kasus pencopotan tersebut.
Karena kasus ini, lanjutnya, Pertamina harus menghadapi realita masa depan 'mengejutkan' yang tidak jelas dan kelanjutan proses transformasi dipertanyakan.
Dan bagi Sari, pernyataan Menetri BUMN Rini Soemarno yang menjelaskan alasan personal dan dualisme kepemimpinan sebagai landasan penggantian direksi Pertamina dirasa sangat sederhana sekali.
“Pertanyaannya adalah bagaimana masa depan Pertamina. Fenomena ini banyak dijelaskan oleh para ahli di bidang manajemen strategis."
"Betapapun bagusnya suatu strategi semuanya tergantung pada implementasinya."
"Penerapan strategi ini akan sangat ditentukan oleh pemimpinnya, budaya organisasi, SDM sistem dan satu lagi yang sering terlupakan tapi bisa sangat menentukan adalah politik."
"Banyak orang yang berkompeten akhirnya tersungkur ataupun disingkirkan yang terakhir ini nampaknya yang terjadi di Pertamina."
"Jika seperti ini terus kondisinya, Pertamina sebenarnya tidak memiliki masa depan,” ujarnya.
Pertanyaan kedua, masih menurut Sari Wahyuni, adalah bagaimana masa depan amanat Pasal 33 UUD 1945 yakni demi kemakmuran sebesar-besarnya rakyat Indonesia yang harus dipikul oleh Pertamina dan industri migas Indonesia, akan diwujudkan.
Dalam posisi ini, Pemerintah JokoWidodo harus berhati-hati, karena situasi tidak kondusif ini biasanya dapat mengkebiri organisasi atau bahkan membawa organisasi ke arah yang salah terutama ketika konflik memang ditunggangi oleh kepentingan–kepentingan tertentu.
Banyak contoh dalam literature yang menegaskan “conflict is a silent weapon” yakni konsentrasi dan energi korporasi justru lari ke konflik dan kinerja perusahaan terabaikan. (*)