Kabar Tokoh
Rizal Ramli Sebut PT Freeport Bisa Dikembalikan 100 Persen Gratis ke Indonesia
Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli memberikan pendapatnya soal pengambil alihan saham PT Freeport Indonesia untuk Indonesia.
Penulis: Ananda Putri Octaviani
Editor: Astini Mega Sari
TRIBUNWOW.COM - Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli memberikan pendapatnya soal pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia untuk Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Rizal Ramli melalui laman Twitter miliknya, @RamliRizal, yang diunggah pada Senin (26/11/2018).
Rizal Ramli menuturkan jika PT Freeport Indonesia seharusnya bisa dikembalikan 100 persen ke Indonesia secara gratis.
Hal tersebut, menurutnya, dikarenakan setiap kontrak karya yang habis berlakunya, wajib untuk dikembalikan ke pemerintah.
Rizal Ramli menjelaskan jika PT Freeport bisa kembali ke Indonesia pada 2021, tahun ketika kontraknya habis.
Untuk itu, menurut Rizal Ramli, Indonesia tidak perlu membeli 51 persen saham PT Freeport Indonesia.
• Tuntut Ganti Rugi Rp 1 Triliun dari Surya Paloh, Rizal Ramli: Hasilnya untuk Petani dan Petambak
"Setiap kontrak karya yang habis berlakunya wajib dikembalikan ke pemerintah RI.
Pak @jokowi menerima pengembalian Blok Mahakam dari Total Prancis tahun 2015 dan Blok Rokan Riau dari Chevron, AS.
Kemudian memberikan hak pengelolaanya kepada Pertamina.
Langkah itu sangat tepat dan bagus.
Setiap kontrak karya yang habis berlakunya wajib dikembalikan ke RI.
Untuk Freeport seharusnya berlaku pola yang sama, dikembalikan dulu 100 persen gratis ke Indonesia tahun 2021.
Kontraktor bisa BUMN dengan Freeport/Rio Tinto.
Tidak perlu dibeli 51 persen dengan ribet dan uang pinjaman yang beresiko tinggi," kicau Rizal Ramli.

Sementara itu, mengutip Kompas.com, Selasa (13/11/2018), berdasarkan materi rapat dengar pendapatan antara komisi VII DPR RI, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (17/10/2018), dijelaskan bahwa kontrak karya (KK) PT Freeport Indonesia (PTFI) tidaklah sama dengan apa yang berlaku di sektor minyak dan gas, yang jika konsesinya berakhir maka akan secara otomatis dimiliki pemerintah dan dikelola oleh Pertamina.
Dalam peralihan tersebut, pemerintah memang tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun.
Hal itu dikarenakan aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, setelah sebelumnya membayar kontraktor lewat skema cost recovery senilai puluhan triliun rupiah.
Sementara KK PTFI yang ditandatangani pada 31 Desember 1991 seharusnya memang berakhir pada 2021.
• Beri Imbauan untuk Peminjam Dana dari Fintech Ilegal, Kominfo: Nggak Usah Dibalikin
Namun, dalam hal ini terdapat perbedaan penafsiran substansi KK yang terjadi antara pemerintah dan raksasa tambang Amerika Freeport McMoRan (FCX), pemilik mayoritas PTFI.
FCX menafsirkan, mereka berhak mendapatkan perpanjangan kontrak karya hingga 2041 dan pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar".
Berdasarkan pengertian dari FCX, jika pemerintah tidak memperpanjang kontrak sampai tahun 2041, maka akan menjadi landasan dasar bagi FCX untuk membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional.
Sedangkan peluang pemerintah untuk memenangkan arbitrase tersebut tidaklah terjamin.
Jika kalah, pemerintah tak hanya diwajibkan membayar ganti rugi senilai miliaran dolar AS ke FCX.
Namun, seluruh aset pemerintah di luar negeri juga dapat disita jika pemerintah tidak membayar ganti rugi tersebut.
Sekalipun menang, pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku berdasarkan laporan keuangan audited 2017, yang diestimasi sekitar 6 miliar dollar AS.
Selain itu, proses panjang arbitrase akan berdampak pada ketidakpastian operasi serta membahayakan kelangsungan tambang deposit emas terbesar di dunia tersebut.
"Jika diasumsikan Indonesia menang dalam arbitrase sekalipun, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia sesungguhnya juga tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis," kata Direktur Reforminer Komaidi Notonegoro dalam sebuah diskusi di televisi Swasta pertengahan tahun ini, seperti di keterangan tertulis yang Kompas.com terima, Rabu (13/11/2018).
• Tanggapi Usulan Wakapolri soal Sanksi Tilang, Said Didu: Seakan Ide Bagus Padahal Melanggar Hukum
Lebih lanjut, Komaidi mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku yang berdasarkan laporan keuangan audited yang diestimasi sekitar 6 miliar dollar AS.
Selain itu Komaidi juga menjelaskan jika pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya lebih dari Rp 2 triliun.
Namun, jika Inalum membeli saham 51 persen dengan membayar Rp 55 triliun, maka Inalum akan mendapatkan keuntungan yang berlipat.
Berdasarkan keterangan dari Inalum, dalam dengar pendapat dengan Komisi VII DPR baru-baru ini, perusahaan tersebut akan mendapatkan kekayaan tambang yang terdiri dari emas, perunggu dan perak senilai lebih dari Rp 2,175 triliun.
Diperkirakan setelah tahun 2022, Holding Industri Pertambangan tersebut juga akan mendapatkan Iaba bersih dari kekayaan tambang PTFI yang mencapai Rp 58 triliun per tahunnya. (TribunWow.com/Ananda Putri Octaviani)